Me-menej Qolbu
Manajemen Qolbu (MQ) adalah ‘trademark’ baru dalam dunia dakwah. Pertama kali dikembangkan tahun 1990 untuk kalangan intern Pesantren Daarut Tauhiid (DT). Setelah terbukti nilai manfaatnya, maka pada tahun 1998 mulai dikembangkan ke beberapa lembaga diluar pesantren, seperti Bank Muamalat, PT Telkom, PT Kereta Api, PT Pos Indonesia, Yayasan Al Azhar, Pemda dan puluhan lembaga lainnya bagi pemerintah maupun swasta.
Apa itu MQ? Sebenernya tidak ada perbedaan antara MQ dengan metode dakwah Islam lainnya. Di dalamnya pun tidak ada yang baru, semuanya merupakan penjabaran ajaran Islam. Hanya pembahasannya lebih diperdalam, dibeberkan dengan cara yang aktual, dengan inovasi dan kreativitas dakwah yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman. Inti pelajarannya sendiri ada pada qolbu.
Di dalam tubuh ini ada akal, jasad, dan qolbu. Akal membuat orang bisa bertindak lebih efektif dan efisien dalam melakukan apa yang diperintahkan oleh akal. Sebagai contoh; apabila akal menginginkan tubuh mampu berkelahi, maka tubuh akan berlatih agar menjadi kuat. Sayangnya, tidak sedikit orang yang cerdas, orang yang begitu gagah perkasa, tapi tidak menjadi mulia, bahkan sebagian diantaranya membuat kehinaan karena berbuat jahat. Mengapa? Sebab ada satu yang membimbing akal dan tubuh yang belum diefektifkan, itulah qolbu.
Kita ambil contoh lain, sebuah mikropon bisa menjadi alat provokasi kejahatan, bisa juga jadi alat dakwah dan menyamapikan ilmu, sebuah mikrofon bisa juga menjadi alat bantu berbicara sehingga menjadi fasih, itulah fungsi mikrofon. Artinya, yang menentukan isi dari bahasa yang keluar darinya adalah qolbu. Dalam hal ini Rasulullah SAW menyebutkan bahwa di dalam tubuh ini ada segumpal daging yang jika ia baik maka baik pula lainnya, sebaliknya yang apabila jelek maka jeleklah semuanya. Dan yang dimaksud daging itu adalah Qolbu.
Jadi, yang terpenting dari manusia ternyata bukan kecerdasannya saja, bukan kuat fisiknya saja, tapi yang membimbing cerdasnya otak menjadi benar, yang membimbing kuatnya fisik menjadi benar. Disitulah fungsi qolbu. Oleh karenanya, menjadi cerdas belum tentu mulia, kecuali kecerdasannya dipakai untuk berbuat kebenaran. Menjadi kuat belum tentu mulia, kecuali kekuatannya di jalan yang benar.
Di dalam qolbu ini ada yang disebut potensi, faalhamaa fujuu rahaa wa taqwaahaa (QS. Asy Syams [91]: 8), “Dan diilhamkan kepadanya yang salah dan taqwa (benar)”. Begirulah, qolbu ini punya potensi negatif dan potensi positif. Allah telah menyiapkan keduanya dengan adil. Dan disinilah pentingnya fungsi manajemen. Manajemen secara sederhana berarti ‘pengelolaan’ atau ‘pentadriban’. Sebuah sistem dengan manajemen yang baik, dengan pengelolaan yang baik, sekecil apapun potensi yang dimiliki, insya Allah akan membuahkan hasil yang optimal.
Negara Singapura, misalnya, tidak punya Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, bahkan untuk mencukupi kebutuhan air minumnya saja, Singapura harus mengimpornya dari Johor, Malaysia. Disisi lain ternyata mereka berhasil mengelola Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, sehingga walaupun SDA-nya minim, tapi SDM-nya mampu diberdayakan secara optimal. Hasilnya, kini Singapura menjadi jauh lebih makmur daripada Indonesia yang alamnya sangat kaya raya. Mengapa? Ya, itu tadi, karena bangsa kita lemah dalam manajemennya.
Dapat dipahami pula bahwa kita tidak berakhlak mulia bukan karena tidak punya potensi tapi karena manajemen diri kita yang masih buruk. Sungguh kita mampu mengelola otak kita menjadi cerdas, membaca dengan kecepatan 400 kpm, memiliki daya ingat yang kuat, yakinlah itu bisa dilakukan. Kita bisa kelola fisik sehingga mampu melakukan sebuah gerakan bela diri demikian sempurna, pukulannya demikian akurat, tapi itu tidak cukup kalau hatinya tidak dikelola dengan baik. Karena semau itu tidak akan memiliki nilai positif jika hatinya tidak terkelola dengan baik. Begitulah hati menentukan nilai; mulia atau hina. Jangan aneh bila orang yang cerdas, tapi tidak mulia hidupnya. Bukan karena kurang cerdas, tapi kecerdasannya tidak dibimbing oleh hatinya.
Oleh karena itulah orang yang pandai mengelola hatinya, ketika tiba-tiba, misalnya, dihina orang, dia akan kelola penghinaan ini menjadi sesuatu yang manfaat, “Ah, dia memang menghina, namun siapa tahu penghinaan ini bagian dari karunia Allah untuk memberi tahu kekurangan saya, selain itu sayapun bisa melatih kesabaran, bedanya khan dia baru bisa menghina, saya bisa mengatakan yang baik kepadanya.” Begitulah, sikap terhadap hinaan ternyata bergantung manajemen qolbunya. Saat lain ia di uji dengan sakit, lalu qolbunya kembali ia kelola degan seoptimal-optimalnya. “Sakit bagi saya adalah proses evaluasi diri, proses penggur dosa”, demikian ia pahamkan di hatinya tentang makna sakit. Akibatnya, sakit menjadi tidak menyengsarakan, melainkan penuh hikmah yang mendalam, karena dia berhasil mengelola hatinya.
Lelah, tersinggung, terhina, kekurangan uang, tertimpa penyakit, dan masih begitu banyak lagi masalah yang akan membuat orang menjadi goyah, tapi jika terkelola hatinya, subhanallah, ia akan tetap punya nilai produktif. Anehnya, banyak orang yang sangat sibuk memikirkan kecerdasannya, memikirkan kesehatan fisiknya, tapi sangat sedikit memikirkan kondisi hatinya. Kalaulah kita harus memilih, seharusnya kita banyak meluangkan waktu untuk memikirkan tentang qolbu ini. Karena jika qolbu ini baik, yang lainnya pun menjadi baik, insya Allah.