Makna Bahagia

Tiga orang berkawan berjalan di sebuah kampung yang ramai. Banyak berdiri rumah-rumah yang indah. Tempat tinggal orang kaya, tuan-tuan, dan orang-orang bergaji besar. Ketika itu hari telah petang. Matahari condong ke barat, cahaya syafak merah dari barat bergelut dengan cahaya listrik yang mulai menerangi jalan raya.

Di antara pergelutan siang dengan malam itu, beberapa orang duduk di muka pekarangan rumah bersama anak dan istrinya. Sambil membaca surat kabar dan beristirahat sepulang kerja. Di atas meja terletak beberapa mangkuk teh, si ibu tengah menyulam dan anak-anak sedang bermain kejar-kejaran di hamparan halaman rumah rumput yang hijau itu.

Alangkah bahagianya orang-orang yang tinggal di sini. Kata salah seorang dari mereka. Lihatlah keindahan rumah dengan pekarangannya ini. Kecukupan perkakasnya bergelut dengan kepuasan hatinya. Di dekat terlihat garasi mobil. Terlihat pula mobil menurut model yang paling baru. Gajinya tentu mencukupi untuk belanja dari bulan ke bulan, malah lebih dari cukup.

Lalu salah satu dari mereka bertiga menjawab bahwa jangan engkau terpedaya oleh kulit lahir. Karena dunia ini tidak lain hanyalah sebuah komedi. Boleh jadi di balik keindahan perkakas; di balik senyuman dan tawa canda itu ada banyak kepahitan yang mereka tanggung. Sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak orang. Bukankah banyak orang yang tertawa sedang hatinya luka parah. Banyak orang yang tertipu melihat cahaya panas terik di tanah lapang luas. Disangkanya cahaya itu air yang menyegarkan. Demi bila dia sampai ke sana hanya pasir belaka. Banyak sekali keadaan yang rahmat dipandang lahir, tetapi pada batinnya merupakan laknat.

Kalau begitu apakah arti bahagia dan di manakah batasnya? Seseorang dari mereka mengatakan bahagia itu didapat oleh orang yang mempunyai kekayaan yang cukup. Karena jika ada harta, segala yang dimaksud tentu tercapai. Orang berharta di mana dia tinggal perkataannya pasti didengar orang. Salah-salah sedikit mestilah dimaafkan orang. Uang laksana madu lebah. Segala macam semut dan kumbang datang menghirup manisnya itu. Sengsara dialah si miskin. Meskipun benar perkataan yang keluar dari bibir, kebenaran itu tidak akan tegak karena tidak bertulang punggung. Tulang punggung ialah harta.

Ada pun yang lain mengatakan bahwa kemuliaan dan bahagia itu pada nama yang masyhur dan sebutan yang harum. Sebab harta tidak dibawa mati. Sedangkan nama baik akan senantiasa dikenang sepanjang masa. Buah pikiran ini tidak terputus-putus, sebab itu timbullah keinginan hendak menyelidiki lebih jauh. Telah kita dengar bagaimana ukuran dan kaidah dari manusia biasa. Semua anak Adam rupanya ingin bahagia, bukan saja pengertian bahagia, tetapi mengecap bahagia itu sendiri.

Sering kali kebahagiaan yang kita cari itu terlalu muluk; terlalu tinggi. Kita semuanya hanya mengumpulkan pendapat orang lain. Karena demikianlah kita ini di dalam hidup. Kadang-kadang pendapat mereka itu belum pernah dirasainya. Hanya di angan-angan dan belum tegaknya. Kadang-kadang terasa sulit, tak sanggup dia melukiskan dengan puas karena tidak mudah bagi manusia itu menerangkan segala kelezatan yang dirasanya. Tetapi dengan membaca pendapat-pendapat budiman semoga terobati hati kita. Semoga timbul keinginan bisa mencapainya secara hakiki. Mungkin tidak seluruhnya, sebagian cukuplah sudah.

Seperti ucapan yang amat mahsyur dari sahabat Rasulullah saw, Zaid bin Tsabit, bahwa bahagia itu sederhana. Yakni ketika petang dan pagi seorang manusia telah beroleh aman sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia. Juga pendapat Ibnu Khaldun, yakni bahwa bahagia itu adalah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan oleh dan peri kemanusiaan. Begitulah kiranya, alangkah bahagianya manusia yang telah terbiasa merasakan hakikat. Tidak terjebak hanya pada segala sesuatu yang terlihat.* (Gian)

*Dinukil dari ‘Tasawuf Moderen’ karya Buya HAMKA

ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi