Larangan Aset Wakaf Dijadikan Sebagai Jaminan
DAARUTTAUHIID.ORG — Wakaf merupakan amal hukum yang dilakukan seseorang untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda yang dimilikinya menjadi milik Allah.
Harta yang diwakafkan bisa bersifat sementara ataupun selamanya, yang digunakan untuk keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut hukun syariah yang berlaku.
Harta benda wakaf dari waktu kewaktu baiknya terus berkembang. Jika dulu hanya sebatas pada wakaf tanah saja, namun kini sudah berkembang ke wakaf tunai seperti uang, logam mulia, saham, dan lain-lainnya.
Perkembangan itulah yang harus dipahami wakif dan keluarganya, pihak pengelola wakaf, dan masyarakat umum yang ingin berwakaf, supaya nantinya bisa meminimalisir permasalahan wakaf.
Peluang terjadinya permasalahan wakaf bisa muncul jika syarat-syarat wakaf dilanggar, seperti tidak ada ikrar wakaf ataupun syarat lainnya.
Ikrar wakaf bukan hanya harus dilihat oleh saksi yang memenuhi syarat, tetapi juga harus ditulis dalam dokumen hukum yang disebut Akta Ikrar Wakaf yang diatur dalam Undang-Undang.
Surat tanah wakaf tidak dapat digunakan sebagai alat jaminan untuk melakukan transaksi dalam bentuk apapun, karena jika digunakan sebagai alat jaminan, maka akan merubah status wakaf tersebut.
Hal ini juga telah diatur dalam sebuah keputusan dan aturan hukum, dalam pasal 40 Undang-Undang Wakaf mengatur secara spesifik perubahan status harta benda wakaf.
Ada 7 (tujuh) perbuatan hukum yang dilarang untuk dilakukan di antaranya: Disita, dijadikan jaminan, diperjual-belikan, dihibahkan, diwariskan, ditukar, atau dialihkan.
Akan tetapi, tanah wakaf yang telah dialihkan statusnya, wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf yang semula.
Ketika seseorang atau lembaga mewakafkan hartanya, berarti ia telah menyerahkan kepemilikan barang atau aset tersebut secara absolut kepada Allah Ta’ala, maka tidak dapat diperjual-belikan.
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Umar bin al- Khattab mendapat sebidang tanah di khaibar. Beliau mendatangi Rasulullah SAW meminta pendapat beliau,
“Ya Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah aku dapat harta lebih berharga dari itu sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan untukku dalam masalah harta ini?”
Maka Rasulullah SAW berkata, “Bila kamu mau, bisa kamu tahan pokoknya dan kamu bersedekah dengan hasil panennya. Namun dengan syarat jangan dijual pokoknya (tanahnya), jangan dihibahkan, jangan diwariskan”.
Maka Umar ra bersedekah dengan hasilnya kepada fuqara, dzawil qurba, para budak, ibnu sabil juga para tetamu. Tidak mengapa bila orang yang mengurusnya untuk memakan hasilnya atau memberi kepada temannya secara makruf, namun tidak boleh dibisniskan. (HR. Bukhari)
Begitu pula harta benda wakaf yang telah diwakafkan dan memiliki sertifikat wakaf di Badan Pertanahan Nasional tidak boleh disita. Harta wakaf juga tidak bisa diwariskan kepada siapapun.
Hal ini mengutip pendapat Imam Syafi’I, beliau melarang harta yang sudah diwakafkan tidak bisa dijual secara mutlak maupun diwariskan, meskipun aset wakaf itu sudah tidak layak. (Wahid/Arga)
Redaktur: Wahid Ikhwan