Kisah Santri Sunan Bonang
Seperti dikisahkan pada buku Dari Bilik Sebuah kamar, alkisah dalam sebuah perjalanan dakwahnya Sunan Bonang bersama murid-muridnya beristirahat di sebuah kampung. Sembari beristirahat beliau berkenan menyantap hidangan yang sudah disiapkan sebagai bekal beserta para santri-santrinya. Saking lahap menyantap hidangan, ada salah seorang santri tidak menyadari bahwa ada sisa nasi yang tertinggal di sekitar mulutnya. Melihat hal itu Sunan Bonang pun memperingatkan santrinya itu.
“Hai santri kenapa kamu biarkan ada sisa nasi di sekitar mulutmu?” Dengan muka malu sang santri segera mengelap mulutnya lalu membuang sisa nasi yang ada sekitar mulutnya. Melihat hal itu muka Sunan Bonang tampak berubah marah. Lalu dengan setengah membentak beliau berkata, “Hai santri tidak tahu adab! Kenapa kau buang sisa nasi itu. Tidak tahukah kamu bahwa banyak proses yang harus dilalui oleh seorang petani sampai dia mendapatkan sebutir beras. Akankah kamu sia-siakan segala jerih payahnya selama ini?”
Begitu mendengar bentakan tadi, sang santri ini tampak tergopoh-gopoh memunguti kembali nasi yang sudah dijatuhkannya di tanah. Kemudian sang santri memasukkannya kembali ke dalam mulut. Melihat hal itu Sunan Bonang tampak tambah marah. Lalu dengan nada suara yang masih tinggi beliau menyampaikan, “Bagaimana kamu ini! Mengapa kau pungut kembali nasi kotor yang telah kau buang di sampah? Bukankah itu akan mengandung banyak penyakit yang membahayakan dirimu.”
Sang santri tampak bingung mendengarnya. Nasi sisa itu dibuang salah, diambil untuk kembali dimakan lagi lebih salah. Melihat kebingungan di wajah muridnya, Sunan Bonang pun menjelaskan.
“Dengarkan, untuk menjadi nasi itu perlu proses panjang. Dia diolah dari pohon padi menjadi gabah. Lalu ditumbuk menjadi beras. Lalu ditanak menjadi butiran nasi yang kita makan. Sungguh rumit sekali pembuatannya. Maka itu janganlah kalian menyia-nyiakannya dengan membuang nasi tersebut. Maka ambillah nasi itu seperlunya saja yang penting membuat badan kita kembali segar dan bugar. Jika ternyata kalian tidak menghabiskan nasi itu atau hendak membuangnya, maka niatkanlah membuang nasi tersebut untuk memberi makan makhluk Allah yang lain. Sebab masih ada semut, belalang, dan serangga lain yang ditugaskan oleh Allah untuk mengambil semua sisa itu.”
Pantang Mubazir
Ada banyak hal menarik yang bisa kita ambil dari kisah ini. Pertama, adalah komitmen Islam dan pembelaannya terhadap sebuah proses panjang terciptanya sesuatu. Islam sangat menghargai beras, karena dia tercipta dari benih padi yang harus ditunggu minimal tiga bulan lamanya. Proses panjang untuk tumbuh dan berkembang menjadi bulir-bulir gabah. Itu pun dengan penjagaan ekstra yang mana tumbuhan padi haruslah dijaga dari berbagai hama penyakit yang mencoba menyerangnya.
Setelah tiba masa panen, petani padi harus tambah hati-hati. Sebab jika sembarangan maka jumlah butir yang jatuh akan semakin banyak. Setelah itu pun bulir-bulir gabah harus dijemur di tengah terik matahari untuk meminimalisir unsur air. Bukanlah perkara yang mudah untuk memproses padi.
Pelajaran kedua,yakni adalah tanggung jawab sosial. Betapa Sunan Bonang mengajarkan kepada para santrinya agar jika nasinya tidak dihabiskan karena kekenyangan, maka niatkanlah untuk memberi makan kepada makhluk Allah yang lain. Karena ada semut, belalang, dan serangga lain yang diberi tugas oleh Allah untuk mengambil makanan yang kita buang. Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang kita anggap tidak berguna tidak bermanfaat bisa jadi adalah rezeki bagi makhluk Allah yang lain. (Gian)