Kiat Menghadapi Anak Rewel
Anak adalah aset. Kehadirannya kerap ditunggu dan dirindu. Kerinduan merupakan fitrah. Selaku keluarga, rasanya belum lengkap tanpa kehadiran seorang momongan. Karenanya, tak bisa dipungkiri kehadiran anak kerap menjadi sarana lahirnya kehangatan dan kebahagiaan keluarga.
Kerinduan terhadap anak bukan saja milik kita. Sekian abad lalu Alquran menggambarkan betapa anak adalah dambaan (QS. Alfurqon: 74, Ali Imran: 45). Padahal Allah swt. mengingatkan anak adalah perhiasan. “Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” (QS. Al-Kahfi: 46). Diksi ‘perhiasan’ di sini memiliki makna kebanggaan, merasa senang, terhormat, dan hiburan bagi kedua orang tuanya (QS. Ali Imran: 45).
Bukan Sekadar Kebanggaan
Memiliki anak bukan sekedar kebanggaan. Dalam praktiknya, mempunyai anak adalah ujian, amanah, dan perjuangan. Dikatakan demikian, karena mendidik anak tidaklah semudah membalikan telepak tangan. Perhatikan firman Allah, ”Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu; penjaganya malaikat yang kasar, yang keras, mereka tidak mendurhakai Allah (terhadap) apa-apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6).
Setiap orang tua tentu mendambakan anak-anaknya menjadi saleh. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan orang tua pertama, mendidik mereka berdasarkan tingkatan umur. Dari Anas ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda, “Anak diaqiqahi pada hari ketujuh, diberi nama dan dibersihkan rambut kepalanya. Bila ia sampai umur 6 tahun, dia diajari akhlaq. Apabila mencapai umur 9 tahun tidurnya dipisahkan. Apabila sudah mencapai umur 13 tahun tidak mau salat dan puasa, ia dipukul. Apabila mencapai umur 16 tahun, hendaklah bapaknya menikahkannya,” (HR Ibnu Hiban).
Selanjutnya, selalu mendoakan kebaikan untuk anak-anak. “Di sana Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Ucapnya, ”Wahai Tuhan, karuniailah aku anak keturunan yang baik di sisi-Mu…” (QS. Ali Imran: 38). Terakhir, mendidik dengan kasih sayang. Dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, ia berkata,”Rasulullah memberikan nama Yusuf kepadaku dan beliau mendudukkan aku di atas pangkuannya dan mengusap-ngusap kepalaku.”(HR Bukhari).
Sifat Fitrah Anak
Anak adalah buah hati. Karena itu, kehadirannya kerap menjadi tumpuan harapan orang tua di masa datang. Di pundak anak, kita bebankan sebuah keinginan. Kelak dikemudian hari kita berharap anak-anak akan menjadi penerus perjuangan.
Setidaknya pejuang keluarga, di samping menjadi pejuang dan pembela agama Allah. Cita-cita luhur tersebut dalam prosesnya tidak semudah bayangan. Banyak hal yang membuat anak kita menjadi sosok pecundang dan pengecut. Munculnya karakteristik itu bisa disebabkan karena dua hal. Faktor internal dan eksternal.
Kedua faktor itu ibarat dua sisi mata uang. Sulit dipisahkan. Faktor internal bermula dari didikan orang tua mulai dari balita. Sedangkan faktor eksternal cenderung karena pola budaya yang menghimpit gerak dan paradigma mereka pada saat mengalami pertumbuhan.
Kalaulah anak diilustrasikan seperti selembar kertas putih. Maka, pola didik orang tua merupakan koridor yang tak ternilai. Artinya, fungsi orang tua menjadi nyata. Baik-buruk akhlak seorang anak sangat dipengaruhi oleh baik-buruk didikan orang tuanya.
Tak disangkal, anak-anak yang soleh terlahir dari didikan orang tua yang soleh pula. Ini berarti, pola tarbiyah orang tua menjadi tatanan penting. Sebagai contoh, pada umumnya di usia balita anak-anak sering membuat orang tuanya kesal dan marah. Kekesalan itu mungkin karena anak tidak patuh pada perintah orang tuanya. Atau mungkin pula anak sering mengindahkan larangan kedua orang tuanya. Padahal segala larangan yang ditetapkan merupakan bagian kasih sayang bagi anak-anaknya.
Jika Anak Rewel
Bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak-anak, tidak selamanya dianggap kasih sayang oleh mereka. Dampaknya, anak tetap membandel dan kadang rewel. Jika ini terjadi maka yang perlu ditampilkan oleh orang tua adalah sikap tegas.
Tegas dalam arti mengarahkan keinginan anak pada kegiatan yang positif. Tentu dalam kaitan ini membiasakan melakukan dialog interaktif antara anak dan orang tua merupakan kunci utama membangun kebersamaan keluarga. Tanpa menyertakan dialog maka ketegasan yang dilakukan orang tua akan mengalami jalan buntu. Resikonya, anak tetap rewel dan tak peduli akan resiko yang bakal terjadi.
Membiasakan dialog interaktif antara anak dan orang tua merupakan jembatan kebaikan kedua belah pihak. Anak dalam kaitan ini tidak merasa dikecewakan karena ia memahami alasan yang disodorkan orang tuanya. Sedangkan orang tuanya merasa puas karena argumen yang disampaikannya tertangkap oleh pikiran anak.
Sikap rewel anak sebenarnya bisa diredam jika kedua orang tua memahami tahapan usia dan pola pendidikan anak. Rasulullah di awal tulisan ini mensinyalir setiap jenjang usia anak memiliki pola dan model didikan. Maka, kesalahan menerapkan pola pendidikan pada anak akan berdampak, bukan saja pada perkembangan pola pikirnya tetapi juga pada psikologis anak.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi orang tua untuk mengatakan,”anak saya rewel dan susah diatur!” Sebab senjata utama jika anak kita rewel, lakukan dialog dari hati ke hati dengan mereka secara logis dan menyenangkan. Baik, masa balita maupun sudah dewasa! Mari kita coba! (Encon Rahman)