Kiat Komunikasi Efektif
Meski telah belasan tahun menikah, tak jarang suatu rumah tangga mengalami masalah karena jeleknya komunikasi antar mereka berdua. Demikian pula dalam dunia kerja, meski telah bertahun-tahun bersama dalam suatu kantor, tak jarang hubungan atasan – bawahan ataupun antar karyawan kurang baik, karena komunikasi yang kurang efektif di antara mereka. Ternyata tidak mudah untuk bisa saling memahami. Lamanya suatu kebersamaan bukanlah jaminan bahwa komunikasi akan lancar sehingga hubungan dapat berjalan dengan baik. Pandainya berbicara, bukan jaminan mampu berkomunikasi secara efektif. Diperlukan sejumlah kiat untuk komunikasi yang efektif. Apa saja sich kiatnya ?
Pertama , adalah komunikasi harus dilandasi oleh niat yang ikhlas. Karena niat kita ikhlas maka kita tidak akan mudah kecewa atau putus asa bila selama proses saling memahami menemukan berbagai kesulitan. Kita tidak kecewa bila orang lain masih belum bisa memahami atau melakukan apa yang kita inginkan. Hal ini karena kita melakukan semuanya bukan karena hanya ingin orang lain memahami kita semata tapi ada tujuan yang lebih mulia dari semua itu, yaitu mendapatkan ridho Allah atas perbuat baik kita.
Kedua, adalah segala yang kita lakukan harus berangkat dari khusnudon. Berkhusnudon atau berbaik sangka sangat diperlukan dalam segala hal termasuk dalam proses saling memahami. Bila ada orang lain tidak melakukan yang kita inginkan, berbaik sangkalah dengan menetapkan dalam hati bahwa belum tentu orang tersebut tidak suka pada kita atau pada keinginan yang kita, tetapi mungkin karena ada alasan lain. Alasan itu mungkin karena keterbatasan yang ia miliki, baik keterbatsan waktu, tenaga atau mungkin keterbatasan dia dalam memahami apa yang kita inginkan. Jadi ketika orang lain tidak melakukan apa yang kita inginkan jangan langsung berburuk sangka atau menjadikan kita marah karenanya. Tapi coba kita cari apa penyebabnya dengan lebih memahami kondisi orang tersebut. Atau cari tahu kenapa orang tersebut tidak bersikap seperti yang kita inginkan. Jadi tidak dengan mengira-ngira yang berdasarkan pada suudzson tapi mencari tahu alasan yang sebenarnya.
Ketiga, mengubah paradigma dari meminta menjadi memberi. Sering kali kita meminta orang lain berbuat ini atau meminta orang lain untuk berbuat sesuai dengan yang kita inginkan. Tapi jarang sekali kita tergerak unttuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan bila kita menghadapi masalah dengan seseorang. Kita sering kali menuntut orang lain untuk bisa memahami keinginan kita. Tapi jarang sekali kita berusaha untuk bisa memahami orang lain. Sering kali kita menuntut orang lain untuk berkorban bagi kita tapi jarang sekali kita mau berkorban untuk orang lain. Demikianlah komunikasi tidak akan efektif bila berbagai hal kita tuntut dari orang lain tanpa kita mau berbuat banyak untuk orang lain.
Keempat, tawakal setelah kita memaksimalkan usaha kita tentu saja sikap yang tak kalah penting adalah tawakal atau menyerahkan segala hasilnya dari usaha kita kepada Allah. Karena tak ada sesuatupun luput dari campur tangan Allah. Kita hanya diwajibkan memaksimalkan usaha masalah berhasil atau tidak ahkirnya serahkan pada Allah. Kita harus siap dengan segala hasil yang terburuk dari hasil maksimal ikhtiar kita. Kita harus siap setelah usaha maksimal kita, ternyata masih butuh terus ikhtiar yang lebih maksimal lagi. Wallahu ‘alam bishowab. (Emma Rohmah)