Keyakinan kepada Bintang

“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. al-An’am [6]: 97).

Allah SWT menjadikan malam sebagai salah satu pakaian yang dengannya manusia bisa beristirahat dari segala hiruk pikuk aktivitas siang hari. Allah pun mengondusifkan malam dengan menghadirkan gelap yang tampak semakin indah berhias balutan gugusan bintang-bintang. Jika siang hari sangat cocok dan leluasa untuk beraktivitas apa pun, maka malam hari begitu aman dan nyaman untuk digunakan beristirahat melepas lelah atas semua aktivitas yang dilakukan pada siang harinya.

Keberadaan matahari pada siang hari sangat unggul. Tidak hanya berfungsi menerangi bumi saja, melainkan menjadi panduan untuk menentukan waktu dan arah, sehingga wajar jika berbagai hal bisa dilakukan di waktu siang. Bagaimana dengan malam, bisakah digunakan untuk beraktivitas?

Sejak zaman Nabi Idris, sudah ada pengajaran tentang astronomi. Dengan mengamati konfigurasi bintang dan pergerakannya yang terpola (secara matematis) akan diketahui (tidak hanya arah) bahkan informasi waktu sekarang dan yang akan datang. Catatan inilah yang menjadi patokan dalam penanggalan dan penetapan musim yang sedang dan akan dihadapi. Maka, malam tidak hanya bisa dipakai beraktivitas saja, bahkan bisa menjadi patokan untuk menentukan aktivitas apa yang memungkinkan dilakukan manusia di siang hari.

Interaksi manusia saat itu memang sudah menjelajah (karena teknologi bahtera sudah ada sejak zaman Nabi Nuh). Padang pasir dan hamparan laut yang luas tetap bisa mereka jelajahi setiap waktu dengan bantuan ilmu astronomi yang memandu mereka sehingga tidak tersesat.

Para astronom menjadi sangat populer karena dibutuhkan. Informasi dari mereka sangat berharga dalam setiap penjelajahan. Banyak orang tua yang berharap anaknya bisa menjadi astronom. Tentunya harapan ini tidak begitu mudah diraih oleh karena ilmu astronomi bukanlah ilmu yang sederhana (sehingga seseorang bisa menduga-duga), melainkan butuh daya nalar dan kecermatan dalam berhitung. Pihak yang bersedia melakukan hal seperti itu sangatlah terbatas, terlebih karena Allah SWT telah menetapkan nasib (salah satunya bakat) kepada setiap orang berbeda-beda pula.

Bagi pihak yang berambisi (namun tidak menguasai), pada akhirnya memaksakan diri menjadi astronom. Sehingga terjadilah dualisme hegemoni yang dimenangkan oleh mereka yang tidak objektif karena melakukan berbagai cara keliru supaya bisa menang. Alhasil, terjerembablah dunia astronomi kepada fungsi yang bukan sebenarnya.

Oleh karena tidak dipegang oleh ahlinya, maka esensi bintang-bintang menjadi berubah. Mereka bukan lagi menjadi objek yang diamati (seperti halnya benda-benda lain), melainkan yang diharapkan restunya. Budaya bercocok-tanam sesuai musim (yang didapat informasinya dari astronom hanif) selanjutnya berubah. Mereka bercocok tanam sesuka hati, lalu meminta restu kepada bintang-bintang supaya hasil taninya melimpah ruah.

Secara kasat mata (dan memang menjadi patokan para astronom saat mengamati), ada tujuh bintang yang bisa dijadikan patokan dalam pengukuran (pengamatan), maka permintaan (doa restu) mereka pun ditujukan kepada tujuh bintang ini. Mereka melakukan berbagai ritual bagi tujuh bintang ini. Keyakinan beserta praktik (ritual) ini mereka wariskan kepada para keturunannya.

Demikianlah masyarakat dunia saat itu, mereka terjerembab kepada kebatilan dengan menjadikan tujuh bintang sebagai sembahannya. Allah SWT yang telah menjadikan makhluk-Nya (bintang-bintang) unggul, sehingga bisa menjadi dasar untuk menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam mengelola bumi beserta isinya, tidak lagi menjadi media untuk melakukan pengabdian kepada-Nya.

Dan dalam kondisi inilah, Allah menghadirkan Nabi Ibrahim as sebagai kado yang akan membimbing mereka untuk kembali kepada jalan kebenaran, yaitu jalan penghambaan kepada Dzat Yang Mahaunggul, Allah SWT. Wallahu a’lam. (diambil dari buku 101 Kisah Nabi, karangan Ust. Edu)