Kemuliaan Penghafal Quran
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang tidak terdapat dalam rongga badannya sesuatu dari al-Quran adalah seperti rumah yang roboh.” (HR. Tirmidzi).
Al-Quran terjaga kemurniannya hingga saat ini dan nanti, syariatnya adalah karena kehadiran para penghafal Quran. Pada zaman Rasulullah, al-Quran terjaga karena banyaknya dari kalangan sahabat yang menjadi penghafal. Selain itu memang masih sedikit yang punya kemampuan baca tulis, para sahabat merupakan orang-orang dengan kemampuan menghafal yang sangat luar biasa. Jika pun ada sahabat yang bisa membaca dan menulis, maka ia akan langsung menuliskan ayat yang ia dengar dari Nabi Muhammad pada pelepah kurma, potongan kulit, bebatuan, atau media lainnya yang memungkinkan.
Dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah pernah mengutus tujuh puluh orang yang disebut al-Qurra` atau para penghafal al-Quran ke Najd. Akan tetapi rombongan ini malah dibunuh oleh orang-orang dari Bani Sulaim di sebuah tempat bernama Bi’r Ma’unah. Peristiwa ini sungguh sangat membuat Rasulullah marah dan sedih. Namun kehilangan sekian banyak para penghafal al-Quran tidak lantas membuat hafalan tentang al-Quran pun habis. Karena masih banyak para sahabat yang juga hafal Quran.
Demikian keadaannya hingga masa kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq. Al-Quran terjaga syariatnya adalah karena hadirnya para penghafal Quran. Hingga kemudian meletuslah Perang Yamamah dan kembali pada perang ini banyak para penghafal Al-Quran yang gugur. Melihat situasi seperti demikian Umar Bin Khattab mengusulkan supaya dimulailah pengumpulan ayat-ayat Al-Quran. Atas persetujuan khalifah, dimulailah upaya mengumpulkan dan menuliskan ayat-ayat Quran itu. Usaha ini dilakukan oleh sebuah tim yang beranggotakan para sahabat penghafal Quran dan dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
Al-Quran yang telah dikodifikasi ini terus diwariskan dari Khalifah Abu Bakar kepada Khalifah Umar, lalu kepada Khalifah Utsman dan seterusnya hingga mushaf al-Quran diperbanyak dan disebarkan ke berbagai penjuru negeri. Semua ini syariatnya karena peran para penghafal Al-Quran. Betapa besar berkah dan jasa para penghafal Al-Quran ini. Jasa para sahabat pun akan menjadi catatan kebaikan semenjak ayat-ayat ini dituliskan hingga akhir zaman ketika umat manusia terus-menerus mendapatkan manfaat. Allah Ta’ala berfirman:
بَلْ هُوَ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ فِيْ صُدُوْرِ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ ۗ وَمَا يَجْحَدُ بِاٰيٰتِنَآ اِلَّا الظّٰلِمُوْنَ ﴿العنكبوت : ۴۹﴾
Artinya: “Sebenarnya (al-Quran) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. al-‘Ankabut [29]: 49).
Memiliki hafalan Al-Quran di dalam diri kita adalah kunci dari keberkahan ilmu. Pertama, ayat-ayat yang dihafal itulah yang akan mekar mengembang dan memancarkan ilmu. Karena ayat-ayat al-Quran sejatinya adalah sumber ilmu pengetahuan. Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam menghafal Quran dalam menjaga hafalannya, maka ia pun tidak akan berhenti hanya sampai sana. Ia akan senantiasa terdorong untuk meningkatkan kualitas dengan cara mempelajari ilmu Al-Quran lainnya, seperti ilmu tafsir dan mendalami makna dari setiap ayat yang ia hafal.
Melalui ilmunya ini ia akan mampu menyampaikan kebenaran al-Quran kepada orang lain secara lebih mendalam. Inilah berkah itu, ketika ayat-ayat Quran tidak hanya ada di dalam dada melainkan juga terasa manfaatnya oleh orang lain.
Kedua, seorang penghafal al-Quran akan mudah mendalami cabang ilmu dunia maupun syariat lainnya. Inilah bentuk keberkahan lain dari al-Quran. Banyak sekali orang-orang yang hafal Quran bahkan hingga 30 juz, namun hafalan ini sama sekali tidak memberatkan dirinya untuk mempelajari cabang ilmu yang lain. Justru hafalan al-Qurannya mempermudah dalam menguasai cabang ilmu lainnya. (KH. Abdullah Gymnastiar)