Kemudahan sebagai Ujian
Ujian itu tidak hanya kejadian-kejadian yang bersifat musibah semata. Melainkan kemudahan atau kesenangan atau kegembiraan juga merupakan ujian. Selama ini kita menganggap bahwa ujian yang bahaya ketika kita menyikapinya adalah ujian yang susah-susah, yang pahit-pahit. Seperti disakiti orang lain, ditipu orang lain, susah jodoh, sakit, dan lain sebagainya.
Kita banyak menganggap ujian yang berbahaya itu adalah ujian yang tidak enak. Padahal banyak orang yang menghadapi ujian-ujian semacam ini, kemudian ia menghadapinya, mengemasnya dan membuatnya malah lebih dekat dengan Allah Swt.
Kita jarang menganggap naik pangkat itu ujian. Kita jarang menganggap memiliki paras dan postur menawan itu ujian. Kita jarang menganggap bisa membeli mobil itu ujian. Kita jarang menganggap anak lulus jadi sarjana itu ujian. Kita sering menganggap bahwa dihina itu ujian, tapi kita jarang menganggap dipuji itu ujian yang lebih berat.
Padahal Allah SWT berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiya [21] : 35)
Ujian yang paling berbahaya adalah ujian yang paling rentan membuat kita lupa kepada Allah SWT. Yang membuat kita semakin lalai untuk mengingat Allah. Ketika dipuji, disanjung, biasanya kita akan merasa senang dan mudah untuk terbuai dalam empuknya dan merdunya pujian itu. Secara naluri, manusia memang senang dipuji. Tapi seharusnya rasa senang dipuji ini adalah senang dipuji oleh Dzat Yang Mahatahu siapa diri kita sebenarnya, Allah SWT. Bukan senang dipuji oleh yang tidak mengetahui apa-apa tentang diri kita.
Di antara kemudahan atau kesenangan di dunia, berikut ini yang banyak sekali melalaikan manusia, yakni: harta kekayaan, jabatan tinggi, gelar akademik, dan popularitas. (KH. Abdullah Gymnastiar)