Kemiskinan dan Kemanusiaan dalam Pemberdayaan
Kata kemiskinan sudah sangat akrab dan tidak asing di gendang telinga kita. Nyaris setiap hari kita dilingkupi dengan permasalahan yang satu ini. Sampai-sampai dijadikan icon penting dalam setiap wacana pembicaraan. Mulai dari warung-warung rakyat, jongko, warkop bahkan sampai meja pemerintahan dan seminar-seminar yang digelar oleh berbagai elemen masyarakat.
Bagi mereka yang berkepentingan, kata kemiskinan seringkali dijadikan sebagai mobilitas politiknya untuk mencari simpati masyarakat. Banyak elite politik yang mengatasnamakan partai wong cilik, pemberantas kemiskinan, peduli terhadap orang-orang kecil, dan sebagainya. Seolah-olah mereka merasa sebagai pahlawan yang akan memberantas kemiskinan. Tapi kenyataannya angka kemiskinan bukannya berkurang malah bertambah drastis. Apalagi setelah terjadinya krisis moneter pada tahun 1998 yang menimpa bangsa Indonesia.
Krisis moneter sangat dirasakan sekali dampaknya, terutama bagi masyarakat kecil yang semakin tertindas haknya untuk hidup lebih layak. Anu miskin beuki miskin, anu beunghar beki beunghar. Iraha atuh urang bisa siga batur? (Yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya. Kapan kita bisa seperti mereka?). Demikian guyunon orang-orang kecil (masyarakat Sunda) menanggapi realita tersebut. Karenanya, persoalan kemiskinan menjadi sebuah masalah kronis bagi negara-negara yang baru berkembang termasuk Indonesia.
Menguak Realita Kemiskinan
Lantas apa yang dimaksud dengan kemiskinan dan apa kaitannya dengan kemanusiaan? Kita coba kutip dari peraturan pemerintah Nomor 42 tahun 1981, bahwa fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin juga diartikan sebagai orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan.
Berdasarkan Susenas Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2006 sudah mencapai 39,05 juta jiwa atau 17, 75 persen dari total populasi penduduk saat itu. Sedangkan jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2005 mencapai 10,9 juta orang atau naik menjadi 11,9 juta orang November 2005 dan menurun menjadi 11,1 juta orang pada Maret 2006. Itu adalah data pada tahun 2005-2006. Data belasan tahun lalu. Bayangkan dengan data pada tahun sekarang, tentu angkanya sudah mencapai taraf mengiriskan.
Dengan melonjaknya angka kemiskinan di negeri ini, telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan. Namun pada kenyataannya, angka kemiskinan masih banyak. Lantas bagaimana keefektifan dari program-program yang dilakukan pemerintah?
Coki Ahmad Syahwier, seorang kolomnis di salah satu surat kabar di Jawa Barat pernah menyatakan hal ini. “Bukannya skeptis dan pesimis tapi tampaknya kebijakan dan program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan masih memerlukan satu tindakan re-evaluasi yang menyeluruh, sehingga memiliki target yang jelas dan terukur. Karena selama ini, program yang dilakukan pemerintah tidak memiliki standarisasi keberhasilan,” tulisnya.
Adanya standar yang jelas dan terukur merupakan poin penting yang ingin disampaikan Coki Ahmad Syahwier. Selain itu, perlu juga diciptakannya ikatan emosional yang konstruktif antara pemerintah dan komponen-komponen masyarakat dalam suasana dialog yang permanen. Sehingga peran partisipatif masyarakat yang berpenghasilan tinggi dapat dengan mudah tergugah dalam membantu program-program pemberdayaan pengentasan kemiskinan, khususnya di daerah-daerah.
Proses partisipatif masyarakat perlu dilakukan secara intens dan gencar, karena masalah kemiskinan ini bukan permasalahan pemerintah saja, tapi permasalahan nasional dan menyangkut banyak pihak. Karenanya perlu penanganan yang serius dan kepedulian dari berbagai pihak.
Dari semua uraian itu, yang menjadi permasalahan dan perlu dijadikan catatan penting adalah pertama, konsep yang jelas. Kedua, memiliki tujuan yang terukur dan terarah. Ketiga, memiliki target atau pencapaian. Keempat, komitmen dan konsisten. Kelima, adanya sebuah standarisasi keberhasilan dalam menjalankan sebuah program, sehingga jelas tingkat keberhasilan yang telah dicapainya, apakah betul-betul berhasil atau tidak. (daaruttauhiid)