Kaya Harta dan Jiwa dengan Sedekah
Aku seorang ibu rumah tangga. Aku bersyukur walaupun suami hanya guru honorer, kami hidup berkecukupan serta memiliki dua putra dan dua putri. Suatu ketika terlintas dalam benakku untuk membantu membangun perekonomian keluarga dengan berjualan. Alhamdulillah, hasilnya bisa untuk menambah kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari anakku sakit sehingga pengeluaran membengkak. Kebutuhan dapur pun menipis, sedangkan uang belanja yang biasa digunakan untuk berjualan tersisa hanya Rp. 20 ribu. Aku pun berdoa, “Ya rabb, cukupkan kebutuhanku, suami dan anak-anakku dengan uang yang ada di tanganku.”
Dengan uang Rp. 20 ribu itu, aku berencana membeli beras dan telur. Ketika hendak pergi ke warung, aku terima telepon dari teman. Dia memintaku mengantarnya berobat alternatif, tidak jauh dari tempat tinggalku. Aku mengiyakan. Namun selama perjalanan, aku berpikir untuk memutar uang yang Rp. 20 ribu itu dengan menjual gorengan orang lain. Walaupun untungnya sedikit, Alhamdulillah uangku bertambah menjadi Rp. 35 ribu.
Tak lama temanku menelepon dan sudah ada di rumah. Lalu, aku bersegera pulang. Ternyata temanku sudah berangkat ke rumah terapi. Aku menyusulnya dengan membawa uang hasil jualan di saku. Aku bertemu dengan suaminya. Katanya, ia lagi diperiksa. Aku bertanya tentang kondisinya, ternyata lumayan serius dan butuh pengobatan yang intensif sehingga berobatnya tidak cukup sekali.
Tidak lama temanku itu keluar dari ruang periksa dan bertanya perihal biaya berobat. Aku jawab di sini seikhlasnya saja. Maka, dikeluarkannya uang dari saku suaminya sebanyak Rp. 50 ribu selembar dan Rp. 5 ribu selembar. Aku bilang banyak sekali, nanti kan ia harus ke sini lagi. Mengingat pekerjaan suaminya serabutan, kusarankan untuk memberi sebesar Rp. 25 ribu saja.
Ternyata tidak ada receh ketika ditukarkan. Dengan sigap aku keluarkan uang yang di saku tanpa berpikir panjang sambil berkata, ”Eh iya aku punya uang di saku, pakai aja uang aku dan nggak usah dipikirin yang penting cepet sehat.” Dengan memaksa aku berikan uang tersebut ke tangannya. Setelah selesai akhirnya kami berpisah.
Selama di perjalanan, aku teringat harus beli beras dan telur, sedangkan uang yang ada telah kusedekahkan. Padahal, anak-anakku belum makan. Bagaimana ini? Aku mencoba menguatkan diri dengan berdoa, “Ya Razak ya Fatah, semoga Engkau terima sedekahku tanpa ada rasa penyesalan dalam diri dan mudah-mudahan Engkau ganti dengan yang lebih baik.” Terus saja aku membersihkan hati dan pikiran dengan menghadirkan sebuah bunyi hadis, “Bersedekah ketika tidak punya lebih besar pahalanya dibandingkan bersedekah ketika mempunyai rezeki lebih.”
Tak terasa sudah ada di depan rumah. Bibir ini masih basah menyebut asma-Nya. Kulihat seorang teman berdiri dan menyapaku, “Hai Ummi, ke mana aja, dari tadi aku cariin? Aku jawab, “Habis nganter teman berobat. Ada apa? Masuk dulu!“ Tidak usah, jawabnya. “Alhamdulillah ada rezeki lebih, aku mau ngasih ini aja. Ntar malam, ke rumah yah! Ada barang yang mau aku kasihkan, semoga bermanfaat.”
Temanku langsung pamit pulang. Kubawa kantong keresek hitam ke dalam rumah, dan kubuka di depan suamiku. Ternyata, di dalamnya ada beras, telur, kerupuk, dan minyak goreng. Alhamdulillah, Allah memberi lebih dari yang dapat aku beli. Pada malam harinya temanku memberi kulkas secara percuma untuk berdagang. Alhamdulillah kulkasnya masih baru. Aku pun semakin yakin bahwa bersedekah tidak memiskinkan, melainkan menjadikan hidup lebih berkah.
[Oleh : Ummi Hani]