Jangan Menjomblo, Please Dech!
“Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (HR. Muttafaqun Alaih)
Tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu, kecuali yang diperintahkan itu pasti membawa kebaikan bagi yang melakukannya, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Itu dalam satu segi. Dalam segi yang lain, kata sebagian filsuf, karena sesuatu itu baik dan bermanfaat, Allah Ta’ala pun memerintahkan kita untuk melakukannya. Kedua-duanya bisa benar. Yang salah adalah apabila kita—dengan segala keterbatasan yang dimiliki—meragukan atau malah menentang perintah tersebut.
Salah satu perintah Allah Ta’ala—dan telah dicontohkan oleh para utusan-Nya—adalah menikah alias menjalin hubungan yang sah menurut hukum syariat dengan lawan jenis yang boleh dinikahi. Pernikahan sendiri hukum asalnya adalah mubah, artinya perbuatan tersebut boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak. Namun, pernikahan bisa menjadi wajib hukumnya bagi orang-orang yang sudah mampu secara fisik dan materi, serta khawatir terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan.
Itulah mengapa, agama menganjurkan siapapun yang telah mau, mampu, dan cukup usia, apalagi yang sudah punya calon, untuk menjalin hubungan yang resmi dan serius dengan si dia. Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada obat yang paling mujarab bagi orang yang tengah dimabuk asmara selain menikah.” (HR Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Pernikahan pun bisa menjadi haram alias terlarang, yaitu bagi mereka yang tidak mampu secara fisikal dan material, atau menjadikan pernikahan tersebut sebagai sarana untuk mengeksploitasi salah satu pihak.
Adapun bagi mereka yang belum mampu secara material, atau ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan, dianjurkan untuk menangguhkan pernikahannya sampai kondisi memungkinkan. Dalam konteks ini, Rasulullah saw berwasiat, “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (HR. Bukhari Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Pada segi lain, Allah dan Rasul-Nya sangat mengecam seorang muslim yang menolak untuk menikah karena ingkar dan tidak mau menuruti perintah agama. (Lain persoalan jika seseorang belum menikah karena belum ada calon, atau berbagai hal yang menyebabkan dia belum bisa menikah, walaupun di dalam hatinya sudah ada niat). Orang yang mengingkari sunnah yang mulia ini dikecam Nabi saw sebagai bukan bagian dari umat beliau. Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi saw setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda, “Aku salat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk umatku.” (HR. Muttafaq Alaih).
Anas bin Malik ra berkata pula, “Rasulullah saw memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda, ‘Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para nabi pada hari kiamat’.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban). (Tauhid Nur Azhar)
sumber foto: mediajabar.com