Ikhlas, Kunci Diterimanya Amal
Saudaraku, apa yang paling berbahaya dalam hidup? Itu adalah amal kita yang tidak diterima oleh Allah. Seorang ulama mengatakan, baiknya hati tergantung baiknya amal. Baiknya amal tergantung keikhlasan.
Mengapa banyak orang yang beramal kelihatannya, tapi hatinya tidak begitu baik? Dia salat, dia saum, dan dia sedekah, tapi tetap sombong, dengki, dan ujub. Dia baca Quran, dia banyak amalnya, dia menolong orang, dan dia dakwah. Tapi kenapa hatinya tidak berubah?
Penyababnya adalah niatnya yang bisa merusak amal. Amal merusak hati. Jadi diterimanya amal itu, sebelum ittiba’ kepada Rasulullah, adalah ikhlas. “Sesungguhnya amal itu tergantung niat….” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menjadi hal yang luar biasa pentingnya bagi kita untuk sangat serius berpikir tentang keikhlasan. Karena kita banyak ilmu belum tentu jadi amal. Sudah banyak amal tapi tidak membersihkan hati. Apa sebabnya? Niatnya.
Mengapa belajar susah menempel ilmu? Karena niatnya. Dan Allah tahu persis. Hati kita tidak bisa dibohongi. “Dan rahasiakanlah perkataanmu dan nyatakanlah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. al-Mulk [67]: 13).
“Dan sunggguh Kami telah menciptakan manusia. Dan mengetahui apa yang dibisikan dalam hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Ingatlah ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya. Yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.” (QS. Qaaf [50]: 16).
Jadi, yang terpenting di antara yang penting adalah benar-benar paham ilmu ikhlas. Lalu, kita bermujahadah ikhlas. Kita kadang sibuk beramal, tapi kita tidak sibuk memperhatikan niat kita.
Kalau ingin tahu apa yang akan dimujahadahkan dalan hidup kita sekarang? Itu adalah belajar ikhlas. Ikhlas itu dalam amal. Ada niat untuk amal. Misalkan, niat salat tahiyatul masjid, niat salat subuh dua rakaat, yang membedakan niat. Tapi niatnya beramal harus lillahita’ala.
Sekarang siapa yang paling menipu kita? Siapa musuh kita? Inna syaiton lawum ‘aduwum; sesungguhnya setan adalah musuhmu. Kita tidak bisa melihat setan. Tapi setan bisa melihat kita. Kita banyak urusan. Tapi setan tidak banyak urusan, selain menipu kita dengan fokus. Kita lawan dia, tidak ada teman, karena temen juga lagi ditipu. Sedang dia keroyokan. Level mana pun dia punya tim. Tim tipu-tipu.
Kita hafal Quran, dia akan mengeluarkan tim yang hafal Quran untuk menipu kita. Kita belajar agama memakai dalil. Setan juga memakai dalil untuk melumpuhkan kita, tapi setan tidak mempan, lawan siapa?
Allah SWT berfirman,“Iblis menjawab, ‘demi kemulian-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (hamba-Mu yang ikhlas) di antara mereka.’”(QS. Shad [38]: 82-83).
Wama umiru illa liya’budullaha mukhlisina lahuddin. Allah tidak memerintahkan kita mengabdi kepada Allah, kecuali dengan khalis; murni. Tapi, sekarang yang mengambil posisi Allah di hati kita tiada lain makhluk. Makhluk mana yang dominan? Manusia. Jadi rahasianya ikhlas adalah putus harapan dari manusia.
Latihan pertama sekarang, tidak usah ingin dipuji. Apa untungnya ingin dipuji orang? Selanjutnya jangan ingin dikagumi. Ingin dikagumi ini lebih berat lagi, karena kekaguman itu dengan kekhususan. Kemampuan khusus. Banyak orang hidup demi kekaguman.
Apa lagi yang membuat tidak ikhlas? Senang dengan apa yang ada di tangan orang lain. Uang harta, jabatan, dan pemberian. Itu membuat kita hina. Jangan lakukan demi orang memberi sesuatu kepada kita, baik ucapan terima kasih, pengharapan, kekaguman, maupun kedudukan di sisi orang.
Tanya, saya mencari apa di hadapan makhluk ini? Mulailah kita tanya, apakah ini yang saya cari dalam hidup saya? Terus kalau orang suka, orang kagum ke kita, mau apa? Sedangkan yang membagi pahala adalah Allah, sedang yang menentukan surga dan neraka adalah Allah. Siapa dia, mengapa kita menuhankan penilaian orang? Mengapa kita ingin dikagumi, mau apa?
Wah, kalau gitu kita jadi tidak berbuat apa-apa? Berbuatlah apa-apa, bahkan lebih hebat. Karena kita berbuat bukan demi penilaian orang. Orang yang sibuk demi penilaian orang tidak akan menikmati amalnya. Dia tidak akan istiqamah.
Ali bin Ali Thalib berkata, “Semua kepahitan sudah kurasakan, dan tidak ada yang lebih pahit daripada berharap kepada manusia.” Makin berharap, makin pedih. Ayo latihan, jangan berharap kepada makhluk. (KH. Abdullah Gymnastiar)