Ibrahimisasi, Sebuah Pengorbanan Sejati
Berbicara tentang kurban, sejatinya tidak terlepas dari napak tilas perjalanan seorang hamba saleh bernama Ibrahim. Pengorbanannya sungguh menjadi peristiwa monumental yang sampai sekarang masih tetap diperingati, sekaligus dilaksanakan ajarannya. Anak yang bertahun-tahun dinanti kelahirannya, beliau korbankan hanya semata-mata demi melaksanakan perintah Allah.
Simbol Kepatuhan dan Cinta
Konsep pengorbanan yang dilakukan Ibrahim terhadap anaknya mengajarkan kepada kita sebuah simbol kepatuhan, kepasrahan, dan keikhlasan seorang hamba kepada sang Pencipta. Apa yang dimilikinya, termasuk yang paling dicintainya sekalipun, bersedia dikorbankan hanya demi mematuhi perintah sang Rabb. Hal ini, mengilhami para kekasih Allah untuk mengorbankan dan meninggalkan kecintaannya, bahkan dirinya terhadap dunia hanya untuk meraih cinta-Nya.
Kencintaan yang permanen terhadap segala yang dimilikinya selain kepada Allah, menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidup seorang hamba. Selain menimbulkan keegoisan sosial, juga kekikiran di masyarakat. Yang bersangkutan tidak mengisi ruang-ruang kosong yang mengalami kesusahan. Sifat-sifat Ibrahim telah mati dalam dirinya.
Pada sejatinya, seorang hamba terintegrasi hidupnya dengan mahluk ciptaan lainnya. Ketika kita berkorban menjaga alam ini, maka alam ini akan memberikan udara yang segar dan manfaat terbaik untuk kita. Sebaliknya, ketika kita berlaku khianat kepada alam, wajar bila alam juga mengeluarkan amarahnya, dan berlakulah bencana yang akan menimpa kita.
Pengorbanan sejati pasti akan melahirkan pahlawan-pahlawan besar sepanjang sejarah. Penyembelihan kecintaan terhadap yang dicintainya selain Allah akan melahirkan sifat kasih sayang terhadap dirinya, lingkungan, dan bangsanya. Ia menyembelih kecintaan apa yang dimilikinya untuk membantu sesama. Ia kuatkan ketika ada yang lemah, diisinya yang kosong, dan dilindunginya yang teraniaya.
Esensi Kurban
Jika saja kita mau berkaca, sementara ini kita masih rela berkorban untuk kepentingan pribadi semata. Sedang, untuk kepentingan publik atau sosial, acapkali harus berpikir berulang kali. Padahal, di sekitar kita, sungguh masih teramat banyak yang membutuhkan kepekaan sosial. Nikmat menyantap daging kurban terasa sangat manis, meski jarang atau bahkan cuma setahun sekali. Namun lebih dari itu, ada sebuah perasaan bahagia bagi kaum dhuafa yang diberi pahala kesabaran ini, karena masih ada saudaranya yang memperhatikan, memperdulikannya. Subhanallah, sungguh indah bukan? Inilah sesungguhnya salah satu esensi ibadah kurban.
Lebih dahsyat lagi bila semangat berkurban bagi sesama diimplementasikan dalam keseharian. Niscaya makin minimlah jumlah masyarakat miskin negari ini. Dan, bersamaan dengan itu, semangat pengobanan Ibrahim juga akan melahirkan peradaban terbaik. Insya Allah. (daaruttauhiid)