Hormati Orangtua
Tidak sedikit orang yang merasa rendah diri lantaran orangtuanya miskin papa, pegawai rendahan, berpendidikan tak tinggi, atau bahkan buta huruf. Penampilannya kampungan, tampak lugu, atau bahkan cacat dan penyakitan. Tak jarang pula perasaan ini datang mendera karena orangtua telah bercerai, berakhlak buruk, atau berstatus masih non muslim.
Pendek kata, banyak yang mempersempit hidupnya karena keadaan orangtua. Padahal segala perasaan rendah diri yang hanya terus-menerus dirasakan tanpa disertai tindakan positif, jelas tidak akan mengubah apa pun. Selain hanya akan menambah sengsaranya hidup ini.
Ketahuilah seburuk apa pun keadaan orangtua dalam pandangan kita, demi Allah darah dagingnya melekat di tubuh ini. Mestinya kita menjadi orang pertama yang paling berkewajiban berupaya dan memohon kepada Allah Ta’ala agar segala kekurangannya diganti dengan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat.
Betapa tidak! Sesungguhnya segala kekurangan yang ada pada keduanya sama sekali tidak akan menjatuhkan kemuliaannya. Sekiranya kita sendiri berusaha memuliakan mereka, sesuai dengan tuntunan syariat. Bukankah kendati ayah Nabi Ibrahim adalah seorang pembuat berhala, namun toh ternyata tidak sedikit pun mengurangi kewajiban Nabi Ibrahim untuk menghormatinya.
Ada sebuah kisah menarik, ketika seorang pengusaha besar memperkenalkan kedua orangtuanya dari kampung yang notabene penampilan dan sikapnya amat lugu dan sederhana. Ternyata respon dari rekan-rekan relasinya benar-benar hormat dan kagum. Semua ini justru karena mereka menyaksikan penghormatan dan kebanggaan anak yang tulus terhadap orangtuanya.
Oleh sebab itu, berbahagialah orang-orang yang memiliki orangtua sederhana. Karena dengan kesederhanaannya, insya Allah keduanya di akhirat nanti akan ringan hisabnya. Kesederhanaan dalam penampilan, kesederhanaan dalam berpakaian, dan kesederhanaan dalam memanfaatkan rezeki yang dititpkan pada keduanya akan membuat ringan tuntutan Allah di hari nanti serta terlindung dari ujub dan takabur.
Lihatlah betapa tak sedikit orang-orang yang tergelincir hatinya menjadi ujub dan takabur, justru dikarenakan kemuliaan dan kelebihan yang melekat pada orangtuanya; karena kemuliaan nasabnya. Orang yang demikian patut dikasihani karena tak ubahnya seperti membangga-banggakan payung butut. Sesuatu yang jelas-jelas tak lagi layak dipakai apalagi sebagai kebanggaan.
Orang yang suka merasa bangga dan membangga-banggakan orangtuanya memang ibarat membanggakan payung yang sudah rusak. Ia acap kali terkagum-kagum sendiri dan berusaha membuat orang lain agar ikut kagum. Padahal, kenyataannya orang lain seringkali tak kuat menahan perasaan sebal dan muak terhadapnya.
“Hai, lihat nih, ayah saya seorang pejabat, seorang jenderal, seorang tokoh sejarah, seorang ulama hebat…” begitulah kurang lebih ucapan yang senantiasa bergaung dalam hatinya dan bahkan kerap kali terlontar lewat mulutnya. Padahal, tak sedikit di antara mereka, orangtuanya telah masuk liang kubur dan telah hancur lebur tubuhnya dimakan cacing.
Orang-orang seperti itu tiada lain merupakan orang-orang yang terkecoh. Orangtua yang berprestasi, anak yang sombong, seolah dirinya pun otomatis ikut berprestasi. Atau, sekurang-kurangnya sang anak merasa seolah-olah ikut kecipratan kehebatan orangtua. Mereka benar-benar tidak sadar bahwa dirinya sendiri tetap berada dalam kebodohan. Ditambah lagi dengan dosa yang diakibatkan karena keterkecohan tersebut.
Oleh karena itu, apa pun dan bagaimana pun keadaan orangtua, jangan pedulikan pandangan orang lain. Karena keduanyalah yang justru amat membantu kita kembali ke surga. Baik dengan doanya yang mampu menembus tujuh lapis langit, atau pun dengan didikannya yang mengarahkan kita ke jalan yang benar. Doa orang lain belum tentu dikabulkan Allah, namun doa orangtua pasti sangat didengar dan diijabah oleh-Nya. (KH. Abdullah Gymnastiar)