Hati, Muara Setiap Solusi

Kegiatan konsultasi keagamaan dan keluarga sering terlihat di Masjid Daarut Tauhiid (DT). Banyak pula yang bertanya via media online atau medsos DT. Hal Ini membuktikan bahwa kita memiliki permasalahan yang berbeda-beda dan segera ingin diperoleh solusinya.

Kita membutuhkan sosok yang bisa mendengarkan keluh kesah dan memberikan jalan keluar. Namun, jika kita berkaca pada diri, masalah yang dialami adalah cara Allah agar kita merenungi apa yang telah dilakukan selama ini. Karena bisa saja, masalah itu ada karena perilaku kita yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab, mengingatkan kita bahwa setiap masalah itu sejatinya sebagai bahan renungan dan hisab diri.

حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا

Artinya: “Hisablah (evaluasi) diri kalian sebelum kalian dihisab (di hadapan Allah SWT.”

Ada hal sangat penting yang membuat kita susah untuk menghisab diri. Yakni ketika setiap masalah yang dialami, bukannya membuat diri ini tersungkur untuk bersujud dan bertobat, tapi sebaliknya. Semua itu bisa terjadi ketika hati yang dimiliki telah mati.

Hati yang Mati
Allah telah menggambarkan orang yang kering hati dan berkarat jiwanya dalam al-Quran, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 74).

Abbas as-Siisiy dalam buku Ath-Thariq ilal Qulub (Bagaimana Menyentuh Hati) menjelaskan, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa batu itu sensitif. Bahkan ketika ia meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Tetapi kita tidak memiliki peralatan yang dapat membuka rahasia, bagaimana batu itu dapat sensitif. Namun kita yakin melalui ayat tersebut bahwa ia memang sensitif, takut, dan melekat satu sama lain karena takutnya kepada Allah.

Jika batu sensitif, gemetaran, dan melekat satu sama lain karena takut kepada Allah, lanjut Abbas as-Siisiy, lalu bagaimana dengan manusia yang banyak diberikan Allah kenikmatan yang besar, seperti akal, perasaan, dan hati sebagai penitipan rahmat. Sebagian manusia yang hatinya hidup mensyukuri semua kenikmatan Allah. Dan sebagian besar yang lain kurang mensyukuri atau bahkan tidak bersyukur sama sekali terhadap pemberi rezeki, Allah SWT.

Manusia yang kufur nikmat ini telah mati hatinya. Sebagaimana firman Allah, “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. al-Baqarah [2]: 10).

Orang yang mati hatinya sukar menerima kebenaran. Ia akan bertindak sesuai kehendaknya. Nafsu syahwatnya menjadi pengendali, sehingga ia menjadi mahluk yang angkuh dan sombong. Karena itu, berlindunglah dari hati yang keras, hati yang mati, hati yang dikendalikan nafsu. (Eko)