Hadirkan Hati dalam Segala Hal
Saudaraku, kita tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Tidak ada rekaman suara, video, maupun gambar mulia beliau. Tapi mengapa Rasulullah ada di hati kita? Ini menarik, padahal kita tidak pernah berinteraksi langsung. Hati ini memang luar biasa jelajahnya. Mampu menembus jarak dan waktu tergantung kedalaman dan kekuatan pancaran hati.
Contohnya belaian sepenuh hati dengan yang tidak, pasti terasa beda. Membangunkan anak dengan hati jengkel dibandingkan dengan suara lembut pasti berbeda hasilnya. Inilah aset terbesar di hidup ini setelah aset akal dan aset jasad, yaitu aset hati.
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi saw bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
Artinya: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Perkara hati pun menjadi penilaian Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِـنْ يَنْظُرُ إِلَى قُــــلُوبِكُمْ وَأَعْمَــالِكُمْ
Artinya: “Sungguh Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Seyogyanya kita betul-betul memiliki keseriusan memahami hati, bagaimana potensi dan bahayanya. Apa yang bisa kita lakukan dengan hati kita? Contohnya, ikhlas. Ikhlas itu tempatnya di hati. Kita latih untuk senantiasa membaca alarm hati. Ketika teringat jasa ke orang lain, hati pasti jadi kurang nyaman. Mengapa? Karena Allah Ta’ala tahu hati kita sedang mengakui sesuatu yang tidak boleh diakui. Karena sebetulnya bukan kita yang memberi melainkan Allah Ta’ala yang memberi. Kita hanya sebagai jalan dan ini merupakan ujian. Apakah akan ikhlas atau mengakui ini adalah pemberian kita. Latihan pertama yang terpenting dalam ilmu hati adalah latihan ikhlas.
Pertama, yakni tidak boleh merasa berjasa. Hakikatnya hidayah dan taufik itu dari Allah Ta’ala, dan kita hanya diberi ladang amal. Kedua, latihan tidak menyebut-nyebut kebaikan. Jangan menyebut-nyebut kebaikan sebab akan mengotori hati. Harus peka dengan alarm hati, kalau mulai merasa gelisah pasti ada yang salah. Ketiga, latihan tidak menunggu orang lain untuk berterima kasih. Kecuali dalam mendidik anak, mereka harus senantiasa berterima kasih atas kebaikan orang lain. Tapi hati kita jangan pernah berharap untuk diberi ucapan terima kasih dari orang lain.
Kalau kita diremehkan setelah melakukan kebaikan, ya tidak apa-apa. Karena yang kita harapkan rida Allah. Tidak perlu kita mendapat pengakuan orang lain, yang terpenting Allah rida. Yakinlah bahwa semua dilihat Allah akan ada balasan yang tepat, dan di waktu yang tepat. Kita bisa melakukan kebaikan pun itu karunia-Nya, dan segalanya sudah tercatat di lauhul mahfuzh. Ada atau tidak ada kita, ketetapan Allah SWT akan tetap terjadi. Pergulatan hati seperti inilah yang menjadi latihan bagi kita dan Allah Ta’ala Mahatahu bagaimana hati ini berbolak-balik.
Keempat, dalam berbicara jangan dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangkan. Kadang kala kita ingin menyampaikan sesuatu yang lebih bagus dari yang sebenarnya. Mengapa harus tidak jujur apa adanya? Karena kita ingin diakui, dikagumi, ingin kelihatan lebih keren, lebih bagus. Ini adalah penyakit hati yang harus segera diobati. Sibuk dengan bagaimana orang menilai kita, tapi kita jarang memikirkan bagaimana penilaian Allah Ta’ala. Jadi kalau mau ngobrol usahakan BAL (Benar, Akurat, Lengkap) saja tidak usah ditambah atau dikurangkan. Fokus pada apa yang bisa kita perbaiki.
Mari kita biasakan tidak usah terlalu sibuk memikirkan bagaimana kedudukan di mata manusia. Sibuklah dengan mencari kedudukan di sisi Allah Ta’ala dengan menjadi orang jujur apa adanya. Di mulai dari yang kecil-kecil, yang halus-halus. Hal ini akan berefek pada hati menjadi tenang serta terjaganya kehormatan.
Dalam sebuah kitab, biasanya diawali dengan bab niat sebelum membahas inti dari kitab tersebut. Ini menunjukan bahwa bab niat sangat penting dan menentukan. Karena segala amal tergantung bagaimana niatnya. Meskipun yang dipelajari hal agama, kalau niatnya tidak ikhlas lillahita’ala, tidak ada nilainya.
Mudah-mudahan ini jadi jalan renungan bahwa keinginan diakui orang, keinginan mempunyai kedudukan di hati manusia, dan keinginan dikagumi justru akan merembet ke masalah ibadah sehingga bisa hilang keikhlasan kita. Oleh karena itu, kita latih dalam hal apa pun meski bukan dalam hal ibadah langsung. Semoga bermanfaat.
(Kajian MQ Pagi, Kamis 12 November 2020)