Gelar Dunia, bukan Jaminan Hadirnya Surga
Pernahkah kita merasa, ada orang yang menganggap diri kita baik, cerdas, berguna, dan hal hal baik lainnya? Mungkin ada, gelar orang yang menyebut kita ‘Si Sholeh’. Karena anak ustadz misal, lalu semasa sekolah nilai agama selalu baik, tidak pernah berbuat onar dan di kampung halaman rajin mengaji. Pasti ada, diantara kita yang mendapat gelaran tersebut. Lalu kita tersadar dan malu, karena tahu diri kita yang sebenarnya, yang mereka tidak tahu.
Seiring berjalannya waktu, kita dialirkan pada tempat dan suasana yang baru. Bisa dibilang, lebih baik dari lingkungan sebelumnya. Dan ketika kita masuk dalam lingkungan yang lebih baik tersebut, kita merasa tidak ada apa-apanya. Gelar-gelar dunia yang orang-orang bilang dulu di lingkungan yang lama, tak terdengar lagi di tempat yang lebih baik ini.
Kenapa bisa? Karena kita lihat sendiri orang-orang yang betul-betul pantas mendapat gelaran tersebut begitu terlihat di lingkungan yang betul-betul baik. Sedangkan gelaran kita dahulu, hanya diberikan oleh orang-orang yang tidak mengenal kita sama sekali.
Ketika masuk lingkungan baru, banyak hal yang baru kita tahu. Sehingga kita akan lebih banyak berkata, baik dikatakan dalam hati, ‘Oh ternyata ini seharusnya seperti ini, Oh ternyata hal itu asal usulnya seperti itu’, dan masih banyak ‘Oh’ lagi yang baru kita ketahui. Hapalan juz 30 yang kita banggakan selama ini, menciut ketika orang-orang disekelilingmu sudah hapal 30 juz. Bacaan qur’an yang kita anggap lancar, menjadi belajar lagi dari awal dengan tahsin, karena ternyata ilmu makharijul huruf itu luas. Ah dan masih banyak lagi yang kita semua mulai dari nol.
Lalu kenapa, dulu orang-orang menyebut kita dengan gelaran yang baik? Ibaratkan juara kelas, dulu kita mungkin diberikan gelaran tersebut pada tingkat RT. Sedangkan orang lain mendapat gelaran tersebut sudah pada tingkat Internasional yang sudah diakui oleh dunia. Kalau ibaratkan tingkat RT sampai Internasional adalah tingkatan dari tidak baik menuju baik bahkan sangat baik, bisa jadi kita mendapat gelaran tersebut bukan karena kita benar-benar sudah baik, namun kita dianggap baik di lingkungan yang belum baik. Bisa dibilang, ‘Aga mending dibandingkan dengan yang lain’, tentu aga mending ini bukan patokan sudah baik, namun tidak ada lagi.
Allah menaikkan kita ke tempat yang lebih baik untuk menyadarkan kita. Jangan sombong dengan kedudukannu saat ini yang digelarkan orang-orang. Di atas kita pasti ada yang lebih, lebih, bahkan lebih baik lagi. Dan terpenting, kita harus sadar bahwa karena kasih sayang Allah lah kita mendapat gelaran tersebut. Allah telah menutup aib-aib kita yang harus kita syukuri, sehingga sampai saat ini masih ada yang mau bersikap tulus untuk menjadi teman kita. Sedikit saja Allah buka aib kita, tentu kita sudah dianggap tidak ada harganya lagi. Kalau kata guru Aagym, jika dosa itu bau, sekali saja kita berbuat dosa tentu badan kita akan bau, tapi kita telah berbuat dosa banyak sekali, bukan sekali, dan pasti badan ini sangat bau.
Terkadang, manusia biasa seperti kita, ketika dipuji merasa mulia dan seolah-olah pujian itu memang untuk kita, seolah-olah kita lupa bahwa hakikatnya pujian itu hanya untuk Allah semata. Dan ketika dihina, kita tidak terima. Padahal, keadaan kita lebih buruk dari yang mereka katakan. Astaghfirulloohal’adziim.
Berbeda dengan Abu Bakr, yang ketika dipuji, beliau berkata,
”Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka”
Itulah perbedaan jauh kita dengan sahabat Rasulullah SAW. tercinta, sangat berbeda. Dan tentu kita sudah sering mendengar 3 golongan yang terlihat meninggal dalam keadaan Husnul Khatimah, namun ternyata Su’ul Khatimah, Naudzubillaah. Kenapa bisa? Amalannya sudah sangat banyak, bahkan sampai berkorban nyawa. Salahnya hanya satu, tapi Fatal, Niat!!!
Ia meninggal dalam kondisi berperang melawan musuh Allah, namun ‘ingin dilihat syahid’. Ia tersungkur ke bara api yang menyala padahal banyak mengeluarkan harta, ‘ingin dilihat dermawan’. Dan ia diseret oleh Malaikat penjaga neraka padahal banyak ilmunya, ‘ingin dilihat ahli agama. Iya begitulah kesombongan dan berharap pujian dari makhluk yang telah membakar semua pengorbanannya. Nauudzubillaah.
Semoga Allah karuniakan kepada kita hati yang ikhlas dalam melakukan ibadah apapun. Sehingga kita melakukan dan tidak melakukan sesuatu bukan karena penilaian dari makhluk, tapi kita kembali bertanya pada diri, “Apakah Allah Ridha?” Ighfirliii… Kita semua pendosa dan Allah adalah sebaik-baik penerima Taubat. Semoga kita mengenal Allah dengan sebaik-baikinya pengenalan dan Allah wafatkan kita dalam keadaan Husnul Khatimah. Aamiin Yaa Allah, Yaa Robbal ‘Aalamiin. (Alma Fauzal Jannah)