Gaya Hidup dan Gaya Asuh Anak
“Barang siapa yang mendapatkan ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR. Bukhari Muslim).
Kasus busung lapar yang pernah marak di sejumlah daerah di tanah air membuat kita semua terbangun dari ketidaksadaran selama ini. Sebuah potret yang menyadarkan jati diri kita yang sesungguhnya. Sangat ironis memang, Indonesia yang dikenal sebagai negara subur makmur dengan sumber daya alam yang melimpah ruah, namun kebutuhan pangan tidak tercukupi.
Secara nasional kasus busung lapar ini menyerang balita, dengan prosentase mencapai 8% berdasarkan data badan pusat statistik. Pada tahun 2005 saja, jumlah mereka mencapai 20,87 juta. Artinya 1,67 juta balita di negeri ini terjangkit penyakit tersebut. Maramus, kurang gizi, kwashiorkor atau marasmik-kwashiorkor adalah penyakit-penyakit yang menerjang mereka.
Di Jawa Barat sebanyak 18.238 dari 4,3 juta bayi di bawah lima tahun mengalami gizi buruk. Balita yang mengalami maramus (kurang protein akut) sebanyak 160 orang, sedangkan yang menderita kwashiorkor satu orang. Kejadian luar biasa ini merupakan masalah kita bersama. Tidak mesti saling menyudutkan dan menyalahkan apa dan siapa. Akan tetapi mulai dari diri kita sendiri yang senantiasa sadar dan peka terhadap keadaan dan kejadian di lingkungan kita.
Gaya Hidup dan Gaya Asuh
Masih adanya masyarakat yang tidak mampu menyediakan makanan yang cukup gizi untuk anaknya menimbulkan pertanyaan apa yang sebenarnya menyebabkan hal itu terjadi. Sebagian besar orang mungkin akan berpikir hal itu terjadi karena kondisi ekonomi yang carut marut, kemiskinan yang semakin meningkat sehingga masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi yang layak bagi anaknya. Padahal memperoleh gizi cukup sejak lahir merupakan hak paling mendasar yang semestinya diterima setiap anak. Namun kenyataannya ini masih menjadi problem bagi sementara orangtua, terutama yang berpenghasilan rendah.
Mari kita cermati lebih mendalam benarkah kemiskinan yang menjadi penyebabanya? Dalam satu kasus yang ditemukan satu keluarga yang anaknya menderita gizi buruk, ia tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi anaknya karena tidak mampu membeli makanan bergizi. Namun ironisnya, ayah dari anak tersebut dalam kondisi seperti itu tetap mengonsumsi rokok lebih dari satu bungkus.
Coba kita hitung jika uang tersebut tidak dipakai untuk rokok, tapi ia belikan makanan bergizi. Kemungkinan bisa mencukupi kebutuhan gizi harian anaknya. Dalam kondisi ini bukan kemiskinan yang mesti kita salahkan, tapi perubahan gaya hidup keluarga juga rasa tanggung jawab terhadap anaknya yang patut dibenahi.
Jika kita amati, keluarga miskin motivasi usahanya lemah. Mereka mengharapkan mendapatkan penghasilan yang besar dengan cara mudah, apa pun bentuknya. Dalam contoh kasus mereka, lebih baik uang yang ia dapatkan digunakan untuk memasang judi daripada diberikan untuk anaknya.
Hal ini menitikberatkan pada tanggung jawab orangtua terhadap anaknya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw menegaskan, “Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila berjanji akan memberikan sesuatu kepada mereka, maka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki.”
Hal lain yang menyebabkan kekurangan gizi adalah pola atau gaya asuh terhadap anak yang kurang tepat. Gaya atau pola asuh yang kurang tepat terhadap anak akan memperlambat pertumbuhan anak, baik itu secara fisik atau non fisik. Bisa jadi sebuah keluarga yang cukup secara materi tapi anaknya menderita gizi buruk.
Pola asuh yang salah seperti tidak memberi ASI pada anak dan menggantikannya dengan susu lain. Diyakini atau tidak produk susu yang banyak dipasarkan, tidak akan melebihi kualitas kandungan ASI yang ada pada seorang ibu. Bagi sebagian kaum ibu sekarang menjadi beban ketika harus memberikan ASI kepada anaknya. Tidak lagi menjadi kebanggaan karena dipilih Allah memberikan makanan langsung dari Allah melalui tubuhnya.
Padahal dengan memberi ASI, seorang anak tidak hanya terpenuhi kebutuhan gizi tetapi juga merasakan keakraban dan belaian kasih sayang seorang ibu, sehingga secara mental baik bagi pertumbuhanya. Allah menegaskan dalam al-Quran surah al-Baqarah [2] ayat 233, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya.”
Mendapatkan ASI adalah hak pokok yang mendasar bagi seorang anak selain mendapatkan pendidikan atau asuhan dari orangtuanya, terutama ibu. Seorang ibu harus akrab dengan anaknya sejak hamil, melahirkan, hingga anaknya berusia satu sampai delapan tahun. Sebab ibu itu sebagai guru (al-ummu madrosatun), ibu itu ibarat sebuah sekolah bagi mereka.
Beberapa hal lain yang harus dibiasakan seorang ibu khususnya dalam merawat anak, yakni pendidikan disiplin sejak dini terhadap anaknya seperti membiasakan pola makan sehat dan teratur, serta membiasakan selalu mencuci tangan sebelum makan. Kewajiban lain, ibu secara rutin memeriksakan kesehatan anaknya minimal satu bulan sekali. Membawa anaknya ke posyandu untuk melihat sejauh mana pertumbuhan anaknya.
Seandainya hal-hal ini masih banyak ditinggalkan, maka kasus gizi buruk di negeri ini tidak akan dapat diselesaikan meski pemerintah memberikan bantuan gizi secara penuh. Sebab, masalah ini adalah masalah kolektif yang mesti diselesaikan secara seksama dan bersama.
Dengan demikian penyelesaian kasus kekurangan gizi ini adalah membangkitkan kesadaran, kewajiban, rasa tanggung jawab orangtua terhadap anaknya. Selain itu memperbaiki gaya hidup dan gaya asuh yang biasa dilakukan dalam keluarga. Dari sinilah kemungkinan kasus gizi buruk akan dapat terselesaikan. Wallahu ‘alam biss shawab. (daaruttauhiid)