(Edisi Idul Adha) Hukum Berqurban Menurut 4 Madzhab
Berqurban merupakan syiar Islam yang hampir semua orang mengetahuinya dan dijanjikan pahala yang besar bagi seorang Muslim yang melaksanakannya. Anjuran berqurban tentu saja hanya bagi orang yang mampu secara finansial. Namun demikian, tidak semua orang kaya melaksanakan qurban, bisa jadi karena mempersiapkan untuk kebutuhan tertentu, prioritas hal lain, keengganan, dan lain sebagainya.
Menurut pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanafiyah hukumnya berqurban adalah sunnah. Artinya sesuatu yang apabila dilakukan akan mendapat pahala, bila ditinggalkan pun tidak berdosa. Di antara argumen mayoritas ulama adalah hadits Ibnu Abbas, beliau mendengar Nabi bersabda,
ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضَ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّع: الوِتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلاَةُ الضُّحَى
“Tiga perkara yang bagiku hukumnya fardhu, tapi bagi kalian hukumnya tathawwu’ (sunnah), yaitu shalat witir, menyembelih udhiyah dan shalat dhuha.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim).
Khusus untuk Rasulullah SAW, hukum berkurban adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi,
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan berqurban, dan hal tersebut sunnah bagi kalian.” (HR. al-Tirmidzi).
Standar mampu dalam Mazhab Syafi’i bukan dihitung dengan nominal tertentu, akan tetapi bagi mazhab ini yang dikategorikan mampu ialah yang mempunyai uang cukup untuk membeli hewan qurban. Dia juga memiliki uang untuk menafkahi keluarga beserta orang-orang yang ditanggungnya selama hari-hari penyembelihan; 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah.
Hukum berqurban menurut 4 Imam Mazhab yaitu: pertama, Imam Hanafi berpendapat bahwa apabila seseorang yang mampu secara finansial, maka diwajibkan baginya untuk berqurban. Mampu dalam ukuran, memiliki kekayaan minimal sebesar 200 dirham, atau kekayaan harta yang dimiliki telah mencapai nisab zakat.
Kedua, menurut Imam Maliki, hukum berqurban memiliki nilai sunnah muakkad, namun dapat berubah menjadi makruh bagi seseorang yang mampu berkurban namun tidak melakukannya. Makruh adalah hukum yang bernilai sebuah pelarangan, namun bisa dilakukan tidak mendapat konsekuensi dosa.
Ketiga, hukum berqurban menurut Imam Syafi’i, bernilai sunnah muakkad. Cukup sekali berqurban dalam seumur hidup. Tidak perlu dilakukan selama setahun sekali. Dalam Mazhab Syafi’i terdapat dua hukum cara untuk melaksanakannya qurban.
Keempat, Imam Hambali berpendapat jika seseorang bisa mengusahakan diri untuk membeli hewan qurban, walaupun dengan cara berutang, maka dia dianjurkan untuk berqurban. Hukum berqurban wajib bagi seseorang yang mampu melakukannya, namun menjadi sunnah bila seorang muslim tidak mampu menunaikannya. Wallahu a’lam bishowab.
(Shabirin/Wahid)