Dr. Gabor Maté, Mantan Zionis: “Israel Perwujudan Terburuk Manusia Dikemas dalam bentuk Pemerintah”

DAARUTTAUHIID.ORG | BANDUNG — Ketika dunia masih berdebat tentang kekejaman penjajah ‘Israel’ dan luka bangsa Palestina, Dr. Gabor Maté penyintas Holocaust kelahiran Hungaria ini menyampaikan pandangan tajam dan jujur tentang jahatnya ‘Israel’ terhadap bangsa Palestina dalam sebuah wawancara mendalam yang disiarkan oleh PBS.

Dalam wawancara tersebut, pemeluk Yahudi ini menekankan bahwa penderitaan terbesar dalam penjajah di Palestina justru dialami oleh bangsa Palestina, bukan sebaliknya, sebagaimana digambarkan media Barat.

“Trauma terbesar selama beberapa dekade terakhir bukan menimpa orang ‘Israel’, tetapi menimpa bangsa Palestina,” tegas Maté dalam wawancara yang disiarkan oleh PBS baru-baru ini.

Sebagai anak Yahudi yang kehilangan kakek-neneknya di Auschwitz dan hidup dalam bayang-bayang ketakutan Nazi, Maté memahami apa itu rasa terancam. Namun pengalamannya justru menumbuhkan empati, bukan pembenaran atas kekerasan.

“Pada 7 Oktober, dunia terkejut oleh serangan Hamas yang menewaskan lebih dari 1.200 orang. Tapi sejarah tidak dimulai pada tanggal itu,” katanya. “Jika kita memahami konflik ini secara historis, itu telah berlangsung lebih dari 150 tahun,” ujarnya.

Ia menyebutkan bahwa sejak 1947–1948, puluhan ribu warga Palestina telah terbunuh dan pembersihan wilayah. Maté menyitir sejumlah pembantaian yang terdokumentasi oleh sejarawan ‘Israel’ sendiri, bukan dari propaganda Arab.

“Saya tidak suka membandingkan penderitaan, tapi dalam hal jumlah korban, kehilangan tanah, penindasan, dan diskriminasi, tidak ada bandingannya. Dan siapa pun yang melihatnya langsung akan sampai pada kesimpulan itu,” kata Maté.

Kritik terhadap ‘Israel’ dan Politik Barat

Maté juga menyoroti bagaimana kepemimpinan ‘Israel’ dan opini publik Barat kerap menutup mata terhadap kenyataan di lapangan.

Dalam nada getir, Maté menyebut bagaimana narasi di Barat seringkali menempatkan penjajah ‘Israel’ semata sebagai korban, tanpa menyadari ketimpangan kekuasaan yang nyata.

“Satu pihak menimpakan dominasi luar biasa kepada pihak lain,” ujarnya.

“Dukungan tanpa syarat terhadap penindasan berkelanjutan terhadap Palestina, bahkan setelah gencatan senjata, perlu ditantang,” ujarnya.

Ia mengkritik keras bagaimana opini global—khususnya di Barat—mengabaikan suara-suara Yahudi progresif yang menentang kekerasan dan penindasan.

“Dalam tradisi Yahudi, para nabi tidak tunduk pada pemimpin atau opini publik. Mereka bicara soal nilai yang lebih tinggi: kebenaran, keadilan, dan Tuhan.”

Sebagai seorang Yahudi, Maté tidak menyangkal pentingnya sejarah penderitaan bangsanya. Namun ia menolak menggunakan trauma itu untuk membenarkan penindasan terhadap bangsa lain.

“Bagaimana saya, sebagai penyintas Holocaust, bisa tidak merasa bersama anak-anak Gaza setelah melihat apa yang mereka alami?”

Mengutip riset yang dimuat World Psychiatry tahun 2006, Maté menyatakan bahwa bahkan sebelum Hamas berkuasa, 97% anak Palestina di Gaza menunjukkan gejala PTSD (post-traumatic stress disorder).

Kondisi yang kini, dua dekade kemudian, telah memburuk secara signifikan.

“Trauma bukan apa yang terjadi pada kita. Trauma adalah apa yang terjadi di dalam diri kita sebagai akibat dari kejadian itu,” ujarnya.

“Dan jika kita membawa luka masa lalu ke masa kini, maka kita harus menyembuhkan luka itu—bukan hanya mengingat masa lalu.”

Ketika ditanya tentang solusi ke depan, Maté dengan tenang menjawab bahwa penyembuhan hanya mungkin terjadi jika ada pengakuan atas penderitaan di kedua pihak.

“Proyek Zionis dibangun dari trauma historis Yahudi, tapi proyek itu juga menimbulkan trauma mendalam bagi rakyat Palestina. Keduanya harus diakui.”

Ia juga menyampaikan penghormatan kepada tradisi kenabian Yahudi, yang “tidak tunduk pada opini publik atau pemimpin, tetapi kepada nilai kebenaran yang lebih tinggi.”

Tapi sayangnya, suara-suara seperti itu, menurutnya, jarang terdengar di media Barat. “Dukungan tanpa syarat terhadap penindasan berkelanjutan terhadap Palestina harus ditantang,” ujarnya.

“Demikian pula, pihak Palestina juga harus bertanggung jawab atas kekeliruan yang pernah mereka lakukan. Semua pihak perlu bertanggung jawab atas tindakan mereka.”

Menyinggung bukunya The Myth of Normal, Maté menutup wawancara dengan satu pesan yang menohok: “Budaya pun bisa terluka. Dan seperti individu, budaya yang terluka juga harus disembuhkan,” kata dia.

Kekejaman ‘Israel’ sudah Melampaui Apa yang Dibayangkan Manusia

Dalam sebuah wawancara penuh emosional dengan Aljazeera al Mubasyer bulan Maret, Maté menggambarkan pengalaman pribadinya saat pertama kali mengunjungi Palestina sebagai momen yang mengubah hidup.

“Pertama kali saya berkunjung ke sana, saya menangis setiap hari selama dua minggu,” kata Maté. “Gaza pada waktu itu—bahkan sebelum serangan besar-besaran saat ini—sudah begitu mengerikan, tidak manusiawi, jelek, jahat. Begitu munafik.”

Dalam keterangannya, Maté mengisahkan bagaimana ia bekerja bersama perempuan-perempuan Palestina yang pernah disiksa di penjara ‘Israel’.

Ia menggambarkan dengan gamblang metode sistematis yang digunakan oleh pasukan penjajah ‘Israel’. “Orang Israel benar-benar pandai menyiksa,” ujarnya tanpa ragu.

Pernyataan Maté bukan berasal dari propaganda, tetapi dari kesaksian langsung dan pengalaman profesionalnya di wilayah pendudukan. Ia mengutip sosiolog Israel, Baruch Kimmerling, yang sejak beberapa dekade lalu telah menyebut Gaza sebagai “kamp konsentrasi terbesar di dunia”.

Menurutnya, kekejaman yang saat ini terjadi sudah melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.

“Tidak seorang pun dari kita saat itu, baik saya maupun rekan-rekan yang bekerja di Tepi Barat, bisa meramalkan sejauh mana kekejian ini akan berjalan. Ini benar-benar titik balik dalam sejarah kejahatan kemanusiaan,” katanya.

Dalam pernyataan yang paling keras, Maté menyatakan: “Negara Israel”, dan pembenaran atas keberadaannya—atau kejahatannya terhadap seluruh kemanusiaan—adalah perwujudan dari sisi terburuk roh manusia yang dikemas dalam bentuk pemerintahan yang berfungsi penuh.”

Ia menyampaikan kalimat tersebut dengan nada pilu, bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai seseorang yang dibesarkan dalam bayang-bayang genosida. Ironi sejarah tidak luput dari pengamatannya—bahwa korban trauma kolektif terbesar di abad ke-20 kini menciptakan trauma baru bagi bangsa lain.

Gaza, menurut Maté, adalah simbol penderitaan yang diabaikan dunia. Ia menyebut kondisi di sana sudah melampaui batas-batas kemanusiaan, sementara banyak pihak masih diam membisu di balik retorika geopolitik.

“Ini bukan sekadar konflik,” ujarnya. “Ini adalah kegagalan moral kolektif, dan dunia harus berhenti menutup mata,” ujarnya.**

Redaktur: Wahid Ikhwan

Sumber: Hidayatullah


DAARUTTAUHIID.ORG