Dikira Ahli Maksiat, Ternyata Ahli Ibadah
DAARUTTAUHIID.ORG — Dalam sebuah karangan sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali, terdapat kisah yang begitu inspiratif.
Seperti dinukil dari kitab Mukasyafatul Qulub, alkisah dahulu kala terdapat seorang lelaki di Basrah, Irak, yang kerap melakukan maksiat secara terang-terangan. Bahkan, masyarakat di kota tempatnya tinggal sering diresahkan oleh perbuatannya.
Di antara banyak kebiasaan jeleknya ialah menenggak minuman keras. Kalau sudah mabuk, ia selanjutnya akan mengganggu tetangga, mengancam pengguna jalan, dan melakukan aksi kekerasan. Sungguh membuat repot orang lain.
Hingga datanglah suatu pagi. Penduduk Basrah mendapatkan kabar bahwa lelaki itu meninggal dunia dini hari tadi. Alih-alih berduka, orang-orang justru mengucapkan syukur. Mayoritas masyarakat merasa lega karena orang yang selama ini meresahkan seisi kota kini telah menemui ajalnya.
Almarhum meninggalkan seorang istri dan anak. Seisi rumah duka tidak bisa berbuat banyak, melihat “antusiasme” warga kota atas kematian sang kepala keluarga. Tidak ada seorang pun penduduk Basrah yang sudi menshalati dan mengantarkan jenazah almarhum ke tempat permakaman.
Hingga waktu siang tiba, istri almarhum mulai dilanda cemas. Ia sudah memandikan jenazah suaminya. Itu pun setelah berusaha keras karena dirinya tidak dibantu seorang pun. Sebab, anaknya masih kecil dan sejak pagi terus-menerus menangis. Sementara itu, para tetangga di sekitar rumahnya sama sekali tak peduli dengan keadaannya.
Menjelang sore tiba, sang istri pun sampai terpaksa menyewa dua orang pekerja untuk memikul jenazah suaminya. Keduanya lantas memanggul jenazah tersebut sampai ke mushala terdekat.
Setelah beberapa jam, tetap saja tidak ada orang yang datang untuk menshalati sang mayit.
Setelah beberapa jam, tetap saja tidak ada orang yang datang untuk menshalati sang mayit. Air mata perempuan itu tumpah di hadapan jasad suaminya.
Setelah melaksanakan shalat jenazah seorang diri, ibu seorang anak itu pun membawa jenazah suaminya ke lahan luas untuk dikuburkan.
Tersingkapnya ‘rahasia’
Dalam keadaan bingung, istri almarhum kemudian didatangi seorang tua yang ahli ibadah. Rumah sang alim terletak di atas bukit, yang cukup jauh dari lahan pemakaman. Kepada perempuan tersebut, lelaki sepuh itu mengatakan dirinya hendak ikut menshalati jenazah almarhum. Perkataan itu membuatnya senang sekaligus terkejut.
Sang istri tentu saja gembira karena akhirnya ada seseorang yang mau menshalati jenazah suaminya. Pada saat yang sama, dirinya heran, mengapa seorang ulama yang saleh sampai rela jauh-jauh turun bukit untuk mengantarkan jenazah suaminya, yang terkenal gemar bermaksiat hingga akhir usia.
Kehadiran ulama besar itu pun dilihat warga sekitar. Akhirnya, banyak orang berduyun-duyun datang.
Kehadiran ulama besar itu pun dilihat warga sekitar. Akhirnya, banyak orang berduyun-duyun datang. Mereka yang tadinya enggan mendekat kini mulai merapatkan barisan untuk menshalati jenazah tersebut. Akhirnya, shalat fardhu kifayah itu diikuti cukup banyak jamaah. Istri almarhum menangis haru.
Sesudah jenazah dikebumikan, beberapa orang menghampiri dai yang dijuluki waliyullah itu. Mereka ingin mendengar alasan sang alim, mengapa bersedia menshalati orang yang semasa hidupnya kerap melakukan kejahatan.
“Semalam, aku mendengar dalam mimpiku sebuah suara, yang mengatakan, ‘Turunlah kamu kepada si fulan karena tidak seorang pun yang mau menshalati jenazahnya. Shalatkanlah ia, sebab ia telah diampuni Allah SWT’,” tutur orang tua itu.
Jawaban tersebut masih kurang begitu menerangkan bagi mereka. Apa yang telah dilakukan almarhum sehingga seorang waliyullah diberi ilham oleh Allah Ta’ala untuk mengurus jenazahnya? Bukankah almarhum semasa hidupnya kerap melakukan maksiat?
Menyadari keheranan mereka, sang ahli ibadah kemudian memanggil istri almarhum dan menanyakan perilaku suaminya semasa hidupnya. Setelah terdiam cukup lama, perempuan itu kemudian berkata, “Orang-orang mengetahui bagaimana kebiasaan almarhum suami saya. Sehari-harinya, dia hanya berbuat dosa dan maksiat. Setiap malam dilewatinya dengan mabuk-mabukan.”
Apakah ada amalan kebaikan yang pernah dilakukan suamimu semasa hidupnya?
“Apakah ada amalan kebaikan yang pernah dilakukan suamimu semasa hidupnya? Coba diingat-ingat kembali,” tanya sang waliyullah.
Sejenak, perempuan itu terdiam. Lantas, dirinya menjawab, “Oh ya, saya ingat sekarang. Suami saya pernah melakukan tiga amalan sebelum ajal menjemputnya.”
“Apa itu?”
“Pertama,” ujar sang istri, “pernah suami saya dalam kondisi mabuk hingga waktu Subuh. Begitu mendengar azan Subuh, ia segera mengganti pakaiannya dan mengambil wudhu. Ia lantas bergegas ke masjid untuk mengikuti shalat Subuh.
Kedua, pada suatu malam ia pernah tersadar dari mabuknya. Di sepertiga akhir malam itu, ia bersimpuh di atas sajadah dan menangis.
Dengan mengangkat kedua tangannya, kudengar ia berdoa, ‘Ya Allah, letak neraka jahanam manakah yang Engkau kehendaki untuk orang zalim sepertiku?’ Dengan munajat seperti itu, aku merasa, suamiku betul-betul memohon belas kasihan dan ampunan-Nya.
Di rumah kami tidak pernah sepi dari anak-anak yatim.
Ketiga, di rumah kami tidak pernah sepi dari anak-anak yatim. Suami saya memberi makan, pakaian, dan juga naungan tempat tinggal untuk mereka. Dengan begitu, mereka tidak bersedih hati. Bahkan, kadang-kadang saya menyangka rasa sayangnya untuk anak-anak yatim melebihi terhadap anak kami sendiri.”
Sejak saat itu, hilanglah kesan buruk penduduk Basrah terhadap diri sang almarhum. Mereka mengenangnya sebagai Muslim yang baik. Demikianlah, ketulusan menjadi jalan bagi seorang hamba Allah untuk memperoleh rahmat dan ampunan-Nya.
Walaupun amalan-amalan itu mungkin jarang atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh orang banyak, Allah Mahamengetahui dan Maha Penyayang.
(Sumber: Republika)
Redaktur: Wahid Ikhwan
_______________________________