Dialog Nabi Ibrahim dan Raja Namrudz
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 258).
Nabi Ibrahim as telah menjalani eksekusi hukuman mati (dibakar hidup-hidup) di hadapan massa yang banyak. Namun, beliau diselamatkan atas kuasa dan kehendak-Nya. Maka, Nabi Ibrahim pun kembali menjalankan aktifitasnya sebagai orang bebas.
Kisah penghancuran berhala menjadi momen penting dalam membuka nalar masyarakat secara massif. Selanjutnya, beliau mencari momen agar bisa mendakwahi Raja Namrudz secara personal. Momen yang ditunggu pun tiba, yaitu pada saat Raja Namrudz mengadakan acara open house berupa pemberian bekal makanan kepada para pendatang.
Satu persatu para pendatang berdatangan. Tibalah giliran Nabi Ibrahim as. Raja Namrudz tidak menyadari bahwa pemuda di hadapannya adalah sang penghancur berhala. Seperti biasa, ia menyampaikan bahwa kesuburan dan kemakmuran negeri Babilonia dikarenakan kepemimpinannya diridai oleh alam semesta, sehingga ia berhak menjadi tuhan bagi masyarakat Babilonia.
“Gayung pun bersambut”. Nabi Ibrahim mendapati jalan mudah untuk menyampaikan kebenaran kepadanya. Dengan segera ia menyampaikan hakikat Tuhan yang sebenarnya. Dengan kemampuan komunikasinya yang menawan, ia mampu menjelaskan eksistensi Tuhan sebenarnya sampai pada satu titik kesimpulan bahwa Tuhan mampu menghidupkan dan mematikan.
Raja Namrudz merespon pernyataan itu. Ia mengatakan dirinya mampu melakukan kerja Tuhan tersebut. Lalu ia meminta pengawalnya untuk menghadirkan dua tahanan yang akan mendapatkan dua perlakuan, satu dibunuh dan satu lagi dibebaskan. Dengan penuh kesombongan ia kembali menetapkan bahwa ia adalah tuhan.
Nabi Ibrahim kaget luar biasa. Bukannya bukti yang Raja Namrudz berikan, melainkan sikap kediktatoran yang mengecilkan arti sebuah kematian demi munculnya rasa tunduk dan takluk di dalam nalar dan jiwa masyarakatnya.
Nabi Ibrahim tetap berusaha tenang. Lalu, ia menyampaikan tentang sunnatullah yang ada di alam. Ia mengondisikan Raja Namrudz agar berpikir objektif. Maka, ia menghadirkan hal-hal konkret (salah satunya sunnatullah terbit dan tenggelamnya matahari) dan meminta Raja Namrudz untuk mengubah sunnatullah tersebut dengan menerbitkan matahari secara kebalikan (dari barat) dan menenggelamkannya di timur.
Mendapati pernyataan dan tantangan seperti itu, Raja Namrudz menjadi tidak berkutik. Alam pikirnya sudah terkondisikan untuk berpikir objektif. Ia mencoba merangkai kata namun terasa kelu dan sulit menyampaikannya. Ia sama sekali tidak menemukan setitik pun hujjah karena hati kecilnya menyadari ketaatan yang ia dapatkan memang diperoleh melalui jalan (modus) paksaan dan ancaman.
Komunikasi tulus Nabi Ibrahim telah masuk ke dalam hatinya. Raja Namrudz sedang berada di ambang pilihan untuk menetapi iman atau menolaknya. Namun, ia melakukan kesalahan fatal yaitu menutup pintu hidayah dengan mengusir Nabi Ibrahim dengan penuh kesombongan serta menyiapkan bala tentaranya untuk menghancurkan Tuhan sebenarnya.
Atas pilihan itulah, maka Allah SWT mengutus sekelompok serangga (nyamuk) yang menyerang seluruh balatentara Raja Namrudz sehingga mereka mati bergelimpangan. Bagi Raja Namrudz sendiri, Allah berkehendak mengutus satu serangga yang masuk melalui lubang hidungnya yang terus-menerus menggigit Raja Namrudz dari dalam. Karena peristiwa ini, Raja Namrudz selalu memukuli kepalanya berharap rasa sakitnya hilang. Itulah penderitaan yang sangat tragis sebagai jawaban atas semua kesombongannya. Wallahu a’lam. (diambil dari buku 101 Kisah Nabi, karangan Ust. Edu)