Dekapan kerinduan untukmu, pondokku.
Oleh : Aprilia Rahmanita
Pondokku kemarin ramai. Rupanya disana sedang berlangsung acara besar yang selalu aku nantikan, “Haflah Takharruj“1. Bagaimana tidak? Karna dengannya, aku bisa banyak bertegur sapa dengan para guru andalanku, sahabat 24 jamku dan deretan bangunan bersejarah yang seolah tak henti mengisahkan banyak kerinduan yang selalu tersimpan rapih dalam kekokohan bangunannya.
Namun ada yang berbeda dengan hari itu. Ada yang hilang dalam pandangan namun tetap terpatri dalam hati dan pikiran; Bapak rahimahullah2. Seketika terbayang senyum simpul semanis iman ditengah bait puisi yang terlantunkan dalam dekapan airmata syahdu. Teringat sahutan dzikir kala doa terlangitkan dengan penuh kekhusyuan. Seolah terasa rentetan salam keridhoan penduduk langit atas perjuangan beliau, asbab jihadnya sekhusyu ibadah rahasia dimalam-malamnya. Yang aku yakini bahwa Allah hendak menyuburkan, menambahkan, melipatgandakan apa-apa yang beliau berikan dijalan Allah. Maha Besar Allah dengan segala janji yang selalu ditepatiNya.
Saat itu aku persaksikan, ada kesyukuran yang berkelipatan, ada luasnya telaga kesabaran dari derasnya airmata kenyataan, tentang kehilangan, tentang ditinggalkan. Ada gerak nyata dari tulusnya keimanan yang dibalut keikhlasan. Namun juga yang kudapati saat itu adalah kenyataan bahwa penduduk langit lebih merindukan kehadiran beliau. Kemudian setelah itu ada kenyataan yang mengajarkan banyak hal. Masih jelas tergambarkan bening ikhlasnya, teguh sabarnya, tinggi taqwanya, tulus jihadnya, luas syukurnya, kesemuanya itu telah Allah persaksikan pada semesta. Hingga Allah berkahi semuanya, rindu pula semesta padanya; Bapak rahimahullah.
Ditengah kerinduan yang menggebu, kesyukuranku ditanya keluasannya. Haru berbalut duka tak semestinya terus aku tunjukkan. Kemudian sebisa mungkin aku mengalihkan sedikit perhatianku pada banyak sahabat 24 jamku yang aku temui saat itu, alhamdulillah haru dukaku sementara hilang karna aku bisa banyak bertemu dengan sahabat lamaku yang darinya aku banyak mengukir senyum kebahagiaan. Sekelebat ingatan dulu terulang kembali. Ah pada masa dulu, rindu menjadi seorang santri yang selalu haus akan ilmu.
Namun kau tau? Dibalik itu banyak perjuangan untuk selalu bertahan dan tegar karna harus menetap jauh dari orang tua dengan porsi libur yang tak banyak, mungkin hanya punya dua waktu dalam satu tahun untuk bisa pulang kerumah (libur semester dan libur Idul Fitri) itupun hanya sebentar. Meski begitu, syukurku tak pernah berhenti untuk melangit luas, karena selalu merasa beruntung selama menjadi seorang santri; tak pernah risau dengan silaunya dunia, seolah tak mau tau tentang bagaimana keadaan diluar sana dan nyatanya ketika aku tak tau menau tentang kehidupan diluar sana, akupun tetap baik-baik saja, tetap bisa menikmati amanah hidup dari sang Khalik. Seingatku, di pondok aku hanya disibukkan untuk terus belajar dan belajar mengenal Allah dan juga pelajaran tentang kehidupan pada umumnya.
Ah, ingatan ini tetiba dipenuhi kerinduan. Rindu dini hari yang harus segera bangun, lalu kemudian bergantian keliling membangunkan yang lain, rindu dipukul memakai sejadah oleh bagian pengurus masjid jika terlambat datang ke masjid, rindu ketenangan yang tercipta dari riuhnya suara mengaji seluruh santri dalam setiap kelompoknya, rindu sabarnya guru ketika pengajian pagi yang santrinya seringkali banyak tertidur pulas, rindu antri mandi ‘sambil senderan’ dengan tanpa sadar tertidur dan antri makan yang meski hanya dengan telur dadar, rindu pengumuman bagian informasi tentang siapa ‘bulis fii hadzal yaum’3, rindu diperiksa kelengkapan seragam sekolah oleh bagian pengajaran, rindu di panggil dan diberi hukuman oleh bagian kemananan karena telat datang ke pondok, rindu diamanahi bagian pengajaran ketika muhadhoroh4 yang padahal inginnya kabur, rindu memberikan setoran nama hasil ‘jasus’5 kepada bagian bahasa karena sebelumnya ter’jasus’, rindu di tegur bagian keputrian karna pakaian yang ‘kekecilan’ padahal bagiku itu masih longgar, rindu dipanggil oleh mudhabbiroh6 lainnya (pengurus OSTDA/OSIS nama umumnya); bagian pramuka, kesehatan, kebersihan, keterampilan, konsumsi, logistik, perpustakaan. Yang setiap bagiannya pasti punya cerita tersendiri dan dulu dengan kesemuanya itu bisa jadi penyebab santri terdekteksi ‘ga betah’ di pesantren. Namun justru sekarang, kesemuanya itulah yang amat sangat dirindukan. Yang kuingat sampai saat ini, perjalanan bersama kalian sahabat 24jamku, tak pernah ada yang tidak menyenangkan, semua selalu menenangkan dan mengenangkan.
Lalu kemudian kemarin, aku bisa bertegur-sapa dengan guru-guru andalanku, sedikit banyak di ingatkan dengan kejadian yang melibatkan guru yang aku temui dengan aku kala dulu. Ah malu dan haru rasanya, bertemu bertegur sapa, dengan disuguhi senyum tulusnya, lalu berbincang ringan dan pasti diakhiri dengan sedikit pekikan tawa dengan diberi banyak bumbu kerinduan dan tentu menjadi sebab airmata jatuh perlahan dengan ditemani hati yang kian luruh dan meluas syukurnya atas banyak cerita penuh hikmah dari para guruku itu.
Terimakasih banyak guru-guru, pahlawan pendidikanku, yang telah menjadi jalan tersampaikannya banyak ilmu Allah dan juga kebaikan lainnya yang tak akan pernah cukup untukku ceritakan. Benar yang mereka ajarkan padaku, bahwa hidup adalah seni tentang bagaimana caranya untuk memperluas syukur dan memperpanjang sabar. Dan tentu akupun diajari banyak tentang kehidupan, yang sebenarnya tak pernah ada pelajarannya di sekolah. Itu semua aku dapatkan sebab mereka tulus dalam mendidik. Rinduku juga selalu tertuju pada manis senyum mereka yang senantiasa membersamai dalam lembut nasihatnya. Tutur katanya yang selalu membuat iman terasa semakin manis. Khusyu ibadah rahasianya, yang kutau pasti setiap malam-malamnya tak pernah berhenti melangitkan doa-doa untuk kebaikam pondok terkhusus para santrinya.
Duhai guru-guruku, aku yakin seluruh penduduk langit menyaksikan sekecil apapun langkah perjuangan yang kau coba untuk selalu kuat meski nyatanya kau rapuh. Aku doakan semoga Allah tak pernah melewatkan untuk memberi ridho dan berkahnya untukmu, para guruku. Semoga Allah berikan pahala berlipat ganda di akhirat kelak. Maha Benar Allah dengan segala kesempurnaanNya.
Dan syukurku lagi, aku masih bisa menyaksikan bangunan-bangunan bersejarah yang seolah diam membeku namun nyatanya mereka tak pernah tak punya cerita, yang darinya aku banyak melukis tangis bahagia, terkhusus tentang aku dan Rabbku. Setiap sudutnya tentu selalu menjadiw sejarah meski hanya sekedar memberi senyuman ketika melaluinya.
Terimakasih pondokku. Kamupun pasti selalu tau, bahwa aku akan selalu rindu dan rindu ini pasti berkelanjutan. Ramaimu kemarin adalah menenangkan, sebab rindu telah tertunaikan. Dan untuk itu semua, aku bersyukur. Alhamdulillah.
Catatan Kaki
1 Wisuda
2 Dr. Umay M. Djafar Shiddieq, MA (Pimpinan Pondok Pesantren Teradu Daarul Amal)
3 Piket pada hari ini (biasanya seharian penuh membersihkan lingkungan asrama)
4 Pelatihan pidato (biasanya para santri mendapatkan giliran untuk berpidato)
5 Mencari kesalahan (dimaksudkan untuk membiasakan santri agar selalu mengikuti peraturan memakai bahasa sehari-hari yaitu bahasa Arab dan Inggris)
6 Pengurus
Aprilia Rahmanita
Santri PPM 10 Daarut Tauhiid Bandung
Santri Pondok Pesantren Terpadu Daarul ‘Amal Sukabumi