Dakwah Intensif dan Berkelanjutan
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang terus-menerus walaupun kecil, sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masjid megah yang biasanya dihadiri orang dalam hitungan jari tangan, malam ini tak lagi dapat menampung yang hadir, bahkan halaman masjid pun terasa sempit oleh jamaah yang datang. Maklum pada acara peringatan hari besar Islam itu, tampil seorang mubaligh terkenal. Jumlah yang membludak masih terus bertahan hingga acara berakhir pada tengah malam.
Keesokan harinya, serta hari-hari berikutnya, masjid megah tersebut kembali lengang. Bahkan merupakan suatu prestasi ketika barisan shalat berjamaah mencapai dua shaf. Keramaian kembali memuncak pada perayaan hari besar Islam berikutnya. Demikianlah seolah terjadi suatu siklus, sepi dalam keseharian, namun begitu tumpah ruah saat ada suatu perayaan.
Gambaran diatas bukanlah di suatu tempat diantah berantah. Masjid di Indonesia umumnya ramai hanya pada saat acara seremonial, namun sepi dalam kegiatan pembinaan dan ibadah rutin.
Berkenaan dengan hal ini, mengingatkan saya kepada perkataan KH Natsir Zein, MA, “Di Indonesia perayaan Maulid Nabi sudah puluhan tahun. Namun pada kenyataannya masyarakat masih jauh dari kualitas yang diharapkan. Padahal pada setiap peringatan selalu disampaikan hal-hal yang baik. Permasalahannya ada pada waktu diantara dua perayaan maulid.”
Banyak yang mengartikan dakwah sebatas orang berceramah di hadapan banyak orang. Sehingga juru dakwah atau dai diartikan adalah orang yang memiliki kemampuan orasi. Demikian pula suatu masjid dikatakan baik aktivitas dakwahnya ketika banyak kegiatan ceramah umum. Namun pada kenyataannya kondisi tersebut tidak banyak berdampak kepada peningkatan kualitas ummat.
Pada ceramah umum, interaksi antara penceramah dengan pendengar amat terbatas. Pendengar kurang dilibatkan, mungkin ada yang berkonsentrasi mendengarkan materi ada pula yang tidak. Dengan ceramah umum tingkat daya serap peserta tidak dapat diukur, termasuk pula sulit mengukur apakah yang difahami oleh peserta sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penceramah. Demikian pula dengan metode ceramah umum, pemantauan aplikasi peserta tidak dapat dilakukan, karena penceramah tidak lagi berada di tempat itu.
Ceramah umum memang salah satu bentuk dakwah, tetapi bukan satu-satunya. Ada bentuk dakwah yang lain yang perlu dikembangkan di masjid-masjid ataupun di pemukiman-pemukiman. Bentuk ini tidak perlu kolosal, jumlah peserta justru dibatasi, oleh karenanya dari segi biaya justru sangat murah, bahkan bisa tidak berbiaya sama sekali. Terdapat pemateri ataupun penanggungjawab materi yang tetap, sehingga materi dapat berkesinambungan dan saling terkait. Pesertanya harus rutin hadir dan –sehubungan jumlahnya tidak banyak- peserta dapat dilibatkan secara aktif. Inti dari keberhasilan bentuk ini adalah sebagaimana hadits diatas.
Bentuk inilah yang dikenal di kampus-kampus sebagai mentoring atau pun di dalam khasanah pergerakan Islam disebut dengan halaqoh ataupun usrah.
Berbeda dengan bentuk ceramah umum yang diikuti oleh banyak peserta, model ini tidak banyak. Satu forum paling banyak 10 orang. Model ini lebih menekankan aspek kualitas dibandingkan kuantitas. Inilah yang diteladankan oleh Rasulullah saw. Selama 5 tahun pertama dakwahnya, yang beliau rekrut barulah 40 lelaki dan 5 perempuan. Tetapi ke-45 orang itulah yang kemudian selain menjadi ujung tombak dakwah, juga menjadi agen perubahan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang Islami. Profil hasil tarbiyah seperti ini contohnya adalah Ka’ab bin Malik ra. Ia mengakui kelalaiannya dalam perang tabuk dan kemudian iapun ikhlas menerima sanksi berupa pemboikotan kepadanya, yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. Bahkan ketika ada utusan dari raja Ghassan yang memberikan fasilitas suaka politik, ia tidak tergoda sedikitpun.
Bentuk dakwah ataupun pembinaan yang kontinyu ini marak di kampus-kampus dan telah menampakkan hasil. Kampus yang semarak dengan kegiatan mentoring Islam kini berbeda dengan era tahun 70-an, di mana kampus identik dengan buku, pesta dan cinta. Di era pasca 80-an hingga saat ini, kampus telah menjadi motor gerakan Islam di Indonesia. Di masjid kampus bisa seperti itu, mengapa di masjid pemukiman tidak? (Iwan Rudi Saktiawan)