Cara Islam Mengobati Depresi
“Stres yang terus menerus akan bermuara pada hadirnya depresi. Dengan demikian, depresi adalah salah satu produk dari kecemasan kronis dan ketakutan yang berkepanjangan.”
Kata “depresi” sudah tidak asing lagi di telinga. Tidak hanya para psikolog, orang awam pun banyak menggunakan istilah ini, untuk merujuk down-nya kondisi kejiwaan seseorang.
Pada kenyataannya, depresi termasuk salah satu penyakit non fisik yang banyak menjangkiti manusia modern. Itulah mengapa, tempat-tempat rehabilitasi dan konsultasi psikologi, khususnya di kota-kota besar, menjadi tempat yang ramai dikunjungi, tidak kalah ramainya dengan tempat praktik dokter-dokter umum.
Kerasnya persaingan hidup, semakin menggilanya tuntutan hidup, ide-ide kapitalis yang mendominasi otak, dan aneka permasalahan sosial lainnya, menjadikan orang-orang modern sangat rentan terhadap stres. Kondisi stres yang terus menerus pada akhirnya akan bermuara pada hadirnya depresi. Maka, apabila kita ringkas, depresi adalah salah satu produk dari kecemasan kronis dan ketakutan yang berkepanjangan.
Kecemasan dan ketakutan ini merupakan emosi negatif yang sangat merusak keseimbangan fisik dan kejiwaan manusia, apalagi kalau berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Mengapa?
Pada saat perasaan negative tadi masuk ke talamus di otak, bagian ini akan segera merelay informasi tersebut ke seluruh bagian otak, seperti ke bagian pengatur motorik, bagian pengatur kognisi, bagian pengatur budi luhur yang dipakai ibadah, akhirnya orang hidup dalam kecemasan, kesedihan, dan ketidakberdayaan. Talamus di otak pun akan memancarkan kecemasan yang menakut-nakuti. Sebagai akibatnya tubuh yang cemas akan merespons dengan mekanisme perlawanan (respons defensif), jantung pun akan berdetak lebih kencang.
Contoh reaksinya mirip seperti saat kita dikejar anjing. Adrenalin akan dipompa. Darah yang dipompa dengan keras secara terus menerus bisa mengakibatkan terjadinya pengikisan pada dinding-dinding pembuluh darah. Oleh karena itu, orang yang didominasi kecemasan dan ketakutan hidupnya akan jauh dari rasa bahagia karena tidak adanya rasa syukur. Dia pun akan sangat rentan terhadap penyakit.
***
Adakah solusi yang ditawarkan Islam untuk mencegah sekaligus mengobatinya?
Jauh-jauh hari sebelum merebaknya berbagai gangguan dan penyakit kejiwaan seperti sekarang, Islam sudah mengkondiskan penganutnya untuk sehat secara lahir dan batin, fisik dan mental, jasmani, dan ruhani.
Dr. Muhammad ’Utsman Najati dalam buku Psikologi Nabi (2005:364-417) mengungkapkan bahwa di dalam ajaran Islam termuat serangkaian cara yang dapat dimaknai sebagai upaya pencegahan sekaligus pengobatan bagi orang-orang yang mengalami masalah kejiwaan.
Psikoterapi sendiri biasa dimaknai sebagai ”upaya sistematis yang dilakukan oleh para psikolog atau dokter jiwa untuk melakukan perubahan pada kepribadian atau perilaku seseorang yang mengalami penyimpangan perilaku.” Bagi para ahli ibadah dan kaum shalihin, paket-paket ini sudah tidak asing lagi, bahkan sudah menjadi kesehariannya. Apabila kita ringkas ada tiga paket yang ditawarkan Islam.
Pertama, psikoterapi melalui keimanan. Keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, yang intinya bertauhid dan mendekatkan diri kepada-Nya, merupakan fondasi yang sangat kokoh dalam membentuk konsep diri dan kepribadian manusia. Penanaman konsep keimanan yang dilakukan melalui belajar, beramal, dan bertawakal, akan mampu memberikan kekuatan spiritual yang dahsyat pada diri seseorang sehingga dia akan mampu menghadapi kondisi sesulit apapun.
Kedua, psikoterapi melalui taubatan nasuha atau tobat yang sebenarnya. Artinya, seseorang dikondisikan atau idealnya mengkondisikan diri untuk “kembali kepada Allah”, memohon ampun kepada-Nya atas segala dosa dan maksiat yang pernah dilakukan, memasrahkan diri kepada Allah sehingga beban-beban psikologis sebagai akibat dari dosa bisa dilepaskan.
Ketiga, psikoterapi melalui ritual ibadah, yaitu salat, shaum, zakat, dan sedekah, ibadah haji, doa, zikir, membaca; menelaah; dan mengamalkan Al-Quran. Dengan landasan keimanan, seorang Muslim dikondisikan untuk senantiasa menjalin harmoni dengan Allah Ta’ala, dengan sesamanya, dan dengan lingkungannya. Disyariatkannya sejumlah ibadah ritual adalah untuk membangun harmoni dengan ketiga aspek ini.
Memang, ibadah ritual difokuskan semata kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, nilai-nilai dari ibadah tersebut akan terpancar pada lahirnya kemanfaatan dan harmoni dengan sesama. Bukankah ibadah dalam Islam memiliki aspek pembersihan dan pensucian jiwa, membangkitkan optimisme, mengoptimalkan fungsi otak dan tubuh, sekaligus membangun ketenangan dan kedamaian jiwa? Jadi, melalui ibadah ritual yang dijalankan secara intens dan optimal, seorang Muslim akan mendapatkan tubuh, jiwa, dan ruhani yang sehat. In syâAllâh.
(KH. Abdullah Gymnastiar)