Buruk Sangka Membuat Tidak Bahagia
Saudaraku, terkait buruk sangka kepada Allah SWT, hal ini biasanya terjadi manakala seseorang ditimpa kesulitan hidup. Ketika doanya tidak juga terkabul, keinginannya tidak juga terwujud, maka ia kecewa. Ia putus asa dan beranggapan Allah tidak mau mendengarkan doanya, tidak menyayanginya.
Pada situasi itu biasanya seseorang menjadi gelap mata dan buta hati. Ia lupa pada sekian banyak pemberian Allah yang terlimpah kepada dirinya selama ini. Ia lupa pada penjagaan, pemberian, dan kasih sayang Allah yang tiada pernah bisa terhitung di sepanjang hidupnya. Sejak ia masih di dalam rahim ibunya, hingga ia lahir tumbuh dan berkembang.
Padahal, ketika doanya tidak terkabul saat itu, maka itu sesungguhnya bukanlah tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Melainkan Allah menundanya dan mengabulkannya berupa kebaikan di akhirat kelak. Atau, Allah akan mengabulkannya dengan cara menyelamatkan dirinya dari keburukan.
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw, “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahim, melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: (1) Allah akan segera mengabulkan doanya, (2) Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan (3) Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi saw lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.” (HR. Ahmad).
Selain itu, sifat manusia yang selalu tak pernah puas mengakibatkan selalu bermunculan keinginan demi keinginan. Manusia mengira segala hal yang ia inginkan itu memang baik baginya. Setelah punya motor, ia ingin punya mobil. Setelah punya mobil, ia ingin mobil yang mewah. Setelah punya kontrakan, ia ingin punya rumah. Setelah punya rumah, ia ingin rumah yang lebih luas dan lebih indah. Begitulah seterusnya. Setelah punya pekerjaan, ia ingin punya jabatan atau kedudukan yang lebih tinggi lagi. Ingin punya penghasilan yang lebih besar lagi.
Demikianlah manusia. Memang tidak salah manakala manusia punya keinginan. Karena dengan adanya keinginan, manusia akan hidup secara aktif dan kreatif. Namun yang keliru adalah ketika manusia memikirkan apa yang diinginkannya harus ia dapatkan, sehingga ia berusaha mendapatkannya dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dan ketika gagal mendapatkannya, lantas ia putus asa dan menghujat siapa saja, tak terkecuali Allah SWT. Inilah sikap yang salah.
Artinya, “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216).
Sebagai contoh, ada seseorang yang ingin sekali segera menikah, namun belum juga menemukan jodoh yang cocok dengan keinginan hatinya. Berbagai macam cara sudah ia coba. Baik itu dengan berkenalan langsung dengan lawan jenis, maupun meminta bantuan teman dan keluarganya untuk mencarikan calon. Tetapi semua usaha itu masih belum saja membuahkan hasil.
Dalam situasi seperti ini, seorang pemuda atau pemudi bisa terjebak pada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah putus asa, berprasangka buruk kepada Allah bahwa ia tidak mendengarkan doanya dan tidak mempedulikan usahanya. Dan kemungkinan kedua adalah sebaliknya, tetap berprasangka baik bahwa Allah memiliki rencana yang jauh lebih baik lagi. Sikap pertama merugikan, sedang sikap yang kedua jelas menenteramkan dan menyelamatkan.
Ada juga yang ingin menjadi pegawai negeri. Ujian-ujian seleksi ia ikuti. Berbagai persyaratan ia penuhi. Ia menghindari praktik kotor melakukan sogokan untuk meloloskan keinginannya. Namun, ia tidak lulus ujian tersebut. Pada kesempatan berikutnya ia mencoba kembali, namun tidak juga lulus.
Orang yang mengalami hal demikian bisa jadi terjerumus pada sikap putus asa dan berburuk sangka kepada Allah SWT. Tapi, bisa jadi juga dia tetap berprasangka baik kepada-Nya dengan meyakini kewajiban dirinya hanyalah berusaha seserius dan sebaik mungkin. Karena apa pun hasilnya, itu adalah kekuasaan Allah. Siapa yang tahu jika ternyata ketidaklulusannya yang berkali-kali itu mengantarkan dirinya menjadi seorang wirausaha sukses.
Berprasangka baik terhadap Allah membuat kita senantiasa siap menerima ketetapan-Nya yang akan terjadi kepada kita. Baik itu kenyataan yang sesuai dengan keinginan, maupun yang tidak. Baik itu kenyataan berupa keberuntungan, maupun kenyataan berupa musibah. Prasangka baik terhadap Allah membuat kita senantiasa yakin, setiap ketetapan Allah terhadap kita itu pada hakikatnya adalah kebaikan.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan!’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS. an-Nahl [16]: 30).
Tidaklah semata-mata Rasulullah melarang umatnya dari suatu perbuatan tertentu, kecuali karena perbuatan tersebut bisa berdampak buruk. Baik bagi dirinya maupun orang lain. Tak terkecuali buruk sangka.
Selain mendatangkan dosa, buruk sangka juga mengganggu kesehatan mental dan jiwa. Karena setiap kali seseorang berburuk sangka terhadap orang lain, maka selama itu pula dirinya dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif. Kesehariannya tidak tenang, gundah gulana dan gelisah disebabkan prasangkanya sendiri.
Buruk sangka tanpa terasa membuat seseorang menjadi berjiwa pengecut. Karena ia terbiasa sibuk dengan prasangkanya, tanpa ada keberanian mencari kebenaran atau tabayyun langsung kepada orang bersangkutan.
Akibatnya kemudian, seseorang yang selalu berburuk sangka, tentunya sulit untuk bahagia. Bahagia adalah keadaan di mana hati tenang tenteram. Sedangkan dengan buruk sangka, ketenangan hati sangat sulit didapat. Mengapa? Karena rasa curiga dan pikiran negatif lebih mendominasi diri kita. Jika sudah demikian, bagaimana mungkin bisa tenang?!
Buruk sangka juga berdampak buruk bagi kesehatan fisik. Para ahli kesehatan memiliki kesimpulan ilmiah bahwa keadaan yang buruk baik di dalam hati atau pikiran, akan berdampak buruk pula secara langsung terhadap kesehatan fisik. Para ahli berhasil mengungkap orang yang tenggelam dalam ingatan masa lalu yang menyedihkan, atau orang yang pikirannya sibuk dengan pikiran-pikiran negatif, maka sistem kekebalan tubuhnya akan menurun secara signifikan. Tentu saja hal ini memudahkan tubuh terserang virus penyakit.
Saudaraku, terdapat satu kisah seorang ulama sufi bernama Hassan al-Basri dengan seorang pemuda yang sedang berduaan dengan seorang perempuan.
Suatu hari di tepi sungai Dajlah, Hassan al-Basri melihat seorang pemuda duduk berdua dengan seorang perempuan. Di sisi mereka terletak sebotol arak. Lalu Hassan berbisik, “Alangkah jahatnya orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!”
Tiba-tiba Hassan melihat sebuah perahu di tepi sungai yang sedang tenggelam. Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera terjun untuk menolong penumpang perahu yang hampir lemas. Enam dari tujuh penumpang itu berhasil diselamatkan.
Kemudian dia berpaling ke arah Hassan al-Basri dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia dariku, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat aku tolong. Engkau diminta untuk menyelamatkan satu orang saja, sedang aku telah menyelamatkan enam orang.”
Hassan al-Basri gagal menyelamatkan yang seorang itu. Maka lelaki itu bertanya padanya. “Tuan, sebenarnya perempuan yang duduk di sampingku ini adalah ibuku, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan arak. Ini hanya untuk menguji tuan.”
Hassan al-Basri terpegun lalu berkata, “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam ke dalam sungai, maka selamatkanlah aku dari tenggelam dalam kebanggaan diri dan kesombongan.”
Orang itu menjawab, “Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan tuan.”
Semenjak itu, Hassan al-Basri selalu menganggap dirinya sebagai makhluk yang tidak lebih daripada orang lain. Masya Allah. (KH. Abdullah Gymnastiar)