Buruk Sangka Itu Dosa
Saudaraku, salah satu hal buruk yang bisa memicu timbulnya kegoncangan hubungan dengan sesama muslim, selain juga merupakan perbuatan dosa, adalah berburuk sangka. Atau dalam istilah agama kita dikenal dengan suuzhan.
Buruk sangka adalah meyakini sesuatu keburukan dalam diri orang lain, tanpa memiliki alasan atau dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini adalah persangkaan yang diharamkan. Apalagi orang yang diburuksangkai itu adalah orang yang memiliki kepribadian yang baik.
Imam al-Qurthubi menerangkan kepada kita bahwa buruk sangka itu adalah melemparkan tuduhan kepada orang lain tanpa dasar yang benar. Yaitu seperti seseorang menuduh orang lain melakukan perbuatan jahat, tetapi tanpa disertai bukti-bukti yang membenarkan tuduhan tersebut.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hujurât [49]: 12)
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah berfirman, “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS. an-Najm [53]: 28)
Kedua ayat ini diperkuat dengan hadis Rasulullah saw yang berbunyi, “Iyyakum wa dzanna, fainna dzanna akdzabul hadits” yang artinya, “Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan paling dusta.” (Muttafaq’alaih)
Saudaraku, dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali menemukan peristiwa seperti ini. Bahkan, boleh jadi diri kita pun tidak luput melakukannya. Baik disadari atau pun tanpa disadari. Hanya karena omongan teman mengenai diri orang lain, kita bisa dengan mudah terpancing turut berprasangka buruk tentangnya.
Jika sudah demikian, maka hidup kita tidak akan tenang. Mengapa? Karena kita jadi mudah menilai orang lain adalah jahat. Kepada orang tertentu yang kita buruk sangkai, kita akan bersikap dingin atau menghindar, karena kita menduga dirinya jahat dan kita ingin selamat. Padahal sebenarnya, belum tentu seperti itu. Bahkan, sangat mungkin sangkaannya itu keliru.
Dalam situasi seperti itu, maka yang rugi siapa? Tiada lain dan tiada bukan yang rugi adalah kita sendiri. Kita rugi karena terganggu ketenangan kita. Dan kita bertambah rugi lagi karena buruk sangka mendatangkan dosa pada kita sendiri. Na’udzubillahi mindzalik!
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjelaskan buruk sangka (suuzhan) adalah haram sebagaimana ucapan yang buruk. Keharaman suuzhan itu seperti haramnya membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan juga membicarakan keburukannya kepada diri sendiri atau di dalam hati, sehingga kita berprasangka buruk tentangnya.
Apa yang al-Ghazali maksudkan adalah keyakinan hati bahwa suatu keburukan tertentu terdapat dalam diri orang lain. Bisikan hati yang hanya terlintas sedikit saja, maka itu dimaafkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyangka buruk, yang mana persangkaan adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati.
Jika berprasangka buruk terhadap sesama saja sudah mendatangkan dosa. Maka, apalagi jika buruk sangka itu ditujukan terhadap Allah SWT. Seperti apa berburuk sangka terhadap Allah itu?
Bentuk-bentuk contoh suuzhan kepada Allah adalah sikap putus asa dari rahmat-Nya, merasa diri tidak disayangi oleh-Nya. Juga sikap tidak menerima takdir, menganggap Allah tidak adil, menganggap doanya tidak akan dikabulkan dan menganggap dosanya tidak diampuni oleh-Nya. Contoh yang lainnya adalah menganggap kaum muslimin tetap dalam keadaan kalah, dan kemenangan akan selama-lamanya berada di tangan orang-orang kafir. Serta masih banyak contoh lainnya.
Sedangkan Allah dengan sangat tegas memperingatkan kita untuk tidak berburuk sangka terhadap-Nya. Dalam salah satu hadis qudsi disebutkan, “Aku senantiasa berada pada prasangka baik hamba-Ku dan aku akan bersama dia ketika ia mengingat-Ku (berdzikir kepada-Ku), kalau ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingat dia dalam Diri-Ku. Bila ia ingat diri-Ku di tempat ramai, Aku akan mengingatinya di tempat keramaian yang lebih baik daripadanya. Kalau ia (hamba-Ku) mendekat kepada-Ku sejengkal, akan Ku dekati dia sehasta. Kalau ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku dekati dia sedepa dan bila dia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits qudsi yang lain, Allah berfirman, “Aku ini sebagaimana prasangka hamba kepada-Ku. Jika dia berprasangka baik, baginya akan mendapat kebaikan. Jika dia berprasangka buruk, akibat buruk akan menimpanya.” (HR. Ahmad)
Mungkin kita bertanya-tanya di dalam hati, “Lalu bagaimana cara kita membedakan antara sikap waspada dengan buruk sangka?” Pertanyaan seperti ini sangat wajar muncul di dalam benak kita. Karena, memang sangat halus perbedaannya dan juga sangat mudah sekali prasangka terbetik di dalam hati kita.
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, Allah akan memaafkan prasangka buruk yang muncul hanya selintas saja di dalam hati yang kemudian dilupakan. Karena manusia adalah makhluk lemah, yang tidak mampu menghalang-halangi munculnya kilatan prasangka yang muncul secara tiba-tiba begitu saja di dalam hatinya. Namun, apabila kilatan prasangka tersebut dipelihara terus, dilanjutkan atau ditumbuhkan dengan kecurigaan-kecurigaan berikutnya, apalagi hingga dibicarakan kepada orang lain, maka inilah yang mendatangkan dosa.
Sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi, buruk sangka yang hukumnya haram adalah prasangka buruk yang menetap di dalam hati seseorang. Sedangkan prasangka buruk yang muncul secara sekilat saja lalu hilang, itu tidaklah mendatangkan dosa karena memang di luar kemampuan manusia.
Pendapat Imam Nawawi tersebut didasarkan pada sebuah hadis yang menjelaskan Allah akan memaafkan seorang hamba yang di dalam hatinya muncul suatu hal terlarang secara selintas saja secara tidak sengaja, dan ia tidak melanjutkannya dengan cara menceritakannya atau melakukannya.
Hadis tersebut adalah sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di hati mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Sebagaimana pengertiannya bahwa buruk sangka adalah menuduh orang lain berbuat keburukan tanpa didasari dengan bukti atau petunjuk yang kuat. Menurut penjelasan Imam Nawawi, maka jika persangkaan muncul karena didorong oleh petunjuk-petunjuk yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, persangkaan ini tidaklah haram dan ini tidaklah termasuk kepada buruk sangka.
Demikianlah tabiat manusia, jika ia mendapatkan petunjuk-petunjuk yang kuat, maka muncullah persangkaan di dalam dirinya. Persangkaan yang diharamkan adalah persangkaan buruk, yang sama sekali tidak didasari petunjuk-petunjuk yang kuat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Semoga kita bisa menjaga diri ini dari berburuk sangka yang berbuah dosa. (KH. Abdullah Gymnastiar)