Bernostalgia di Kembang Jepun Surabaya
Jika Semarang punya kawasan Johar sebagai pusat perdagangan tertua di kota tersebut, atau Bandung dengan Braga-nya yang kental dengan nuansa kolonial, maka Surabaya pun punya kawasan serupa. Namanya Kembang Jepun. Kawasan kota lama yang juga diabadikan sebagai nama jalan ini, menyimpan ingatan masa lalu Kota Surabaya yang penuh dengan peristiwa sarat makna.
Bayangkan saat Anda menelusuri jalanan di kawasan ini. Meski panjangnya tidak mencapai 1 km, tapi selalu berdenyut setiap hari, siang maupun malam. Pada siang hari, jalanan ini penuh dengan hiruk pikuk perniagaan dan perkantoran. Pertokoan yang menjual perlengkapan kantor, peralatan rumah tangga, busana, furniture, hingga grosiran begitu banyak ditemukan. Belum lagi dengan hadirnya toko-toko yang menjual makanan atau cemilan yang memanjakan lidah.
Begitu pula bangunan yang difungsikan sebagai area perkantoran, seperti bank, perusahaan swasta, atau perkantoran pemerintah setempat. Menambah padat tingkat kesibukan seiring dengan keramaian kendaraan yang melintasinya. Uniknya, pertokoan atau perkantoran di sepanjang Jalan Kembang Jepun ini, sebagian besarnya merupakan bangunan berarsitektur klasik.
Kita pun seakan terpesat ke masa Surabaya tempo doeloe. Masa yang telah lama dilampaui, tapi terbekukan di tempat ini. Bagi Anda pencinta fotografi, ada begitu banyak spot menarik yang menanti diabadikan dalam jepretan kamera. Kembang Jepun adalah surganya, surga para pencinta bangunan yang beraurakan klasik.
Ada pun saat malam menjelang, kesibukan berganti dengan keramaian kuliner khas Surabaya yang dijajakan. Boleh dibilang tidak ada tempat di Surabaya yang menawarkan makanan lokal selengkap di kawasan ini. Interaksi dengan penjual atau dengan sesama pembeli pun turut memeriahkan suasana Kembang Jepun di malam hari.
Dijamin, jika Anda adalah seorang traveler yang menyukai perjalanan ke tempat-tempat bernilai sejarah, dan ingin merasakan aura masa lalu di tempat tersebut, Kembang Jepun adalah pilihan tepat. Tata perkotaan yang didominasi bangunan kuno, dan suasana sehari-hari masyarakatnya yang masih memegang lekat tradisi masa lalu, menghadirkan sensasi pengalaman luar biasa. Pengalaman hidup di masa lalu, namun mengada di masa kini.
Sejarah Kembang Jepun
Sejarah mencatat, ternyata kawasan ini telah lama ada, bahkan semenjak Kerajaan Sriwijaya masih menjadi penguasa Nusantara. Meski berkedudukan jauh di Pulau Sumatra, tapi pengaruh Sriwijaya telah menjamah kawasan ini. Melalui hubungan dagang, banyak penduduk Sriwijaya yang singgah dan melakukan perniagaan. Berinteraksi dengan beragam suku bangsa yang tumpah ruah dalam aktivitas perdagangan.
Pun ketika Nusantara memasuki masa penjajahan dari bangsa Eropa. Khususnya bangsa Belanda dan Inggris, yang tidak hanya menjadikan daerah ini sebagai pusat perdagangan di timur Pulau Jawa, tapi juga menetapkannya sebagai pusat pemerintahan.
Posisi Kembang Jepun yang dilintasi Sungai Kalimas jadi alasan mengapa kawasan ini menjadi titik awal peradaban di Kota Surabaya. Apalagi jarak dengan Pelabuhan Tanjung Perak tidak begitu jauh, sehingga menjadikan kawasan ini ideal bagi aktivitas perniagaan.
Pada masa kolonial Belanda, bangsa meneer itu tidak hanya hanya menjadikannya sebagai sentra perdagangan, tapi juga sebagai pembatas wilayah yang memisahkan mereka dengan penduduk setempat. Bangsa Belanda berdiam di bagian barat Sungai Kalimas, pemukiman Cina di sebelah selatan, sedangkan kampung Melayu-Arab ada di utara sungai. Pada masa ini pula, tepatnya pada tahun 1830, Jembatan Merah (Roode Brug) yang terkenal itu dibangun. Kini, jembatan tersebut menjadi pertemuan antara Jalan Kembang Jepun dengan Jalan Rajawali.
Saat Inggris berkuasa menggantikan Belanda, bangsa ini di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels memilih kawasan di sekitar Jembatan Merah sebagai pusat pemerintahan. Salah satu bukti keberadaan Inggris di kawasan ini adalah adanya Gedung Residen Soerabaja. Gedung yang pada masanya menjadi wujud supremasi bangsa Eropa menjajah masyarakat Hindia Belanda (nama Nusantara saat itu).
Nama yang Silih Berganti
Nama Kembang Jepun mulai dikenal ketika Jepang menduduki Kota Surabaya pada saat Perang Pasifik berkecamuk. Sebelumnya, kawasan ini dikenal dengan nama Handelstraat, yang arti Jalan Perdagangan. Nama ini sesuai dengan peran kawasan tersebut yang merupakan denyut nadi utama perdagangan bangsa Eropa dengan bangsa-bangsa lainnya.
Ada pun nama Kembang Jepun yang jika diartikan perkata adalah Kembang (Bunga) dan Jepun (Jepang), sebenarnya memiliki makna kurang baik. Nama ini (Bunga Jepang) merupakan istilah yang merujuk pada pelacur perempuan, yang banyak dibawa oleh serdadu Jepang. Para serdadu tersebut tanpa malu-malu mengumbar nafsu bejat mereka, dan menjadikan kawasan ini sebagai tempat prostitusi terbesar pada masanya.
Hal itu yang kemudian melatarbelakangi kawasan ini kembali berganti nama. Pada tahun 2003, Pemerintah Kota Surabaya sepakat mengubahnya menjadi Kya-kya. Nama ini berasal dari bahasa Hokkien, yang artinya jalan-jalan, sebagai penghormatan dan pelestarian budaya pecinan yang dominan di tempat ini.
Meski telah berganti sebutan, nama Kembang Jepun masih tetap mengakar kuat dalam ingatan warga Surabaya. Suatu kawasan wisata yang kaya nilai sejarah dan keindahan masa lalu. (daaruttauhiid)