Berkata Manfaat atau Diam
Dikisahkan suatu haris Nabi Isa melihat bangkai seekor anjing. Ketika sahabat-sahabatnya berpaling karena jijik, Nabi Isa justru melihat susunan gigi putih dari anjing itu yang tertata indah, “Anjing itu giginya rapi sekali, ya?” Para sahabatnya keheranan. “Kenapa Paduka berkata begitu, bukankah bangkai anjing itu sangat menjijikkan? Bahkan, Paduka sendiri kalau dihina, dicaci, diremehkan dengan kata-kata jelek, kata-kata Tuan tetap saja baik?” Nabi Isa menjawab, “Karena setiap orang memang akan mengeluarkan apa yang dimilikinya. Kalau pikiran dan perasaannya jelek, maka yang keluar adalah yang jelek-jelek juga.”
Saudaraku, semakin seseorang terpeleset karena lisannya, semakin ia terjebak dalam masalah dan dosa, maka nerakalah tempatnya. Karena itu, kata Nabi Muhammad saw bersabda, “Fal yaqul khairan au liyashmut,” (Berkatalah yang benar atau diam). Jangan sekali-kali mencela makanan yang sudah tersaji di depan mata. “Huh, ini terlalu asin!” Kalau kita tidak suka, berikan kepada makhluk lain yang lebih membutuhkan. Ada makanan terlalu dingin, ya hangatkan! Jangan mengeluh, jangan mencela. Sebab, diberi makan saja oleh Allah, kita sudah selayaknya bersyukur.
Mencela atau mengutuk bukanlah akhlak seorang muslim. Rasulullah bersabda, “Orang Mukmin itu bukanlah seorang pengutuk.” (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis lain Nabi saw bersabda “Janganlah kamu kutuk-mengutuk dengan kutukan Allah, dengan kemarahan-Nya, dan dengan neraka Jahannam.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Suatu waktu ketika berada di Tanah Suci, ada seorang jamaah haji yang mendapat jatah makanannya dalam kondisi dingin dan keras. Mengeluhlah dia dengan mengatakan, “Huh, susah di Arab ini, nasi saja keras begini.” Dia terus menggerutu tanpa henti. Seseorang kemudian menasihatinya, “Kalau bapak semakin mengeluh dan mencela, bapak akan semakin sengsara dan menderita. Yang memberi makan adalah Allah. Adakalanya Allah menguji dengan makanan yang enak dan lezat. Adakalanya pula Allah menguji dengan makanan yang tidak enak atau mungkin dengan makanan yang sudah basi. Mengapa saat sekali ini makanan kita tidak enak, lalu kita sibuk mencaci, mencela, yang tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan justru mengundang murka Allah?”
Sungguh olok-olok, penghinaan, dan pencelaan itu menyulitkan kita di akhirat kelak. Nabi Muhammad bersabda, “Orang-orang yang memperolok-olok manusia akan dikatakan kepada mereka pada hari kiamat, ‘Masuklah kalian ke dalam surga.” Ketika mereka sudah mendekati pintu surga, dikatakan kepada mereka. ‘Ini hanya olok-olokan bagi kalian, sebagaimana dulu kalian juga mengolok-olok orang lain!’” (HR. Baihaqi)
Pastikanlah, dari mulut kita tidak keluar kata-kata yang mengandung penghinaan, pencelaan, olok-olok, dan yang sejenisnya. Kalau kita merasa tidak perlu mengucapkannya, tahan saja lisan ini untuk tetap diam. “Wah, kalau begitu nanti dunia ini sepi dong?” keluh orang-orang. Padahal, bicara itu tidak selalu harus pakai mulut. Senyum ramah, duduk dengan penuh perhatian, dan bersikap santun sudah termasuk bicara. Cara menunjuk, bersila, bahkan cara kita bersikap terhadap pembicaraan orang lain, semua ini merupakan ribuan kata, bahkan jutaan kata.
Ingatlah syarat istiqamahnya hati di jalan Allah adalah istiqamahnya lisan. lidah adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Rasulullah memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Lurusnya lidah itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Nabi saw bersabda, “Tidak akan istiqamah iman seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan tidak akan istiqamah hatinya sebelum istiqamah lisannya.” (HR. Ahmad)
Subhanallah! Karena itu, mulai sekarang, marilah kita menjaga dan mengelola lisan kita dengan hanya menggunakannya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. (KH. Abdullah Gymnastiar)