Berkata Baik Atau Dzikir
Sering kita mendengar pembicaraan yang begitu tidak bermanfaat, atau justru terjebak dalam majelis ghibah. Bahkan tak jarang, kita sendiri menjadi lakon aktiv dalam majelis tersebut. Memang fitrah, perempuan mengeluarkan sampai 20.000 kata/ hari. Tapi bukan berarti, dibenarkan semua kata yang keluar dari lisannya.
Tak mudah merubah diri dari yang sering sekali berbicara, menjadi pendiam. Semua butuh proses, apalagi merubah kebiasaan yang dirasa sulit. Tapi, dengan niat yang sungguh-sungguh ingin berubah dan meminta pertolongan pada Allah, insya Allah semua ada jalannya.
Karena salah satu karakter komunikasi tidak direncanakan, seringnya apa yang kita niatkan bicara di awal, justru banting stir tak terarah. Misal dari berbicara jenis kain, bersambung ke membicarakan teman yang pernah menggunakan kain tersebut, dan berakhir dengan membicarakan keburukan-keburukannya. Astaghfirullooh.
Salah satu karunia dari Allah, banyak diantara kita yang diberi kondisi sempurna, sehingga dapat merespon dengan cepat. Salah satunya, respon pembicaraan. Namun sebelum kita merespon, hal itu sama sekali tidak otomatis merespon, kita punya jeda waktu untuk rem diri, apakah pantas yang kita bicarakan tersebut, atau tidak.
Orang-orang yang sudah membiasakan diri dengan dzikir, baik itu lisan maupun hati, Allah tentu akan menjaga setiap apa yang diamalkan orang tersebut. Salah satunya, menyaring lisannya. Dia akan berpikir banyak untuk merespon pembicaraan, dan berpikir sekali untuk diam jika pembicaraan tersebut tidak pantas untuk direspon.
Namun sebaliknya, orang yang tidak membentengi dirinya dengan dzikir, dia akan berbicara semaunya tanpa memikirkan efek samping dari apa yang dibicarakan. Ketika ada jeda untuk memilih kata-kata yang baik atau sesuai dengan yang dia inginkan, seringnya orang tersebut lebih mentoleransi diri dengan mengatakan, “Ini kan yang saya rasa, Ini ko kenyataannya, Kan saya bicara fakta”, dan masih banyak alasan lainnya.
Sesekali, perhatikanlah para ulama yang betul-betul takut kepada Allah, mereka sangat hati-hati dalam memilih kata-kata ketika menyampaikan sesuatu. Rasanya jauh dengan kita yang sering mudah berbicara, walaupun itu menyakitkan bagi orang lain.
Terkadang dirasa spele, hanya menyakitkan lewat lisan, bukan perbuatan yang sampai melukai fisik. Tapi tentu kita pernah mendengar seorang yang ahli ibadah pada Allah, menjalankan yang wajib dan sunnah, namun di akhir hidupnya dia tergelincir masuk neraka gara-gara menyakiti tetangganya dengan lisannya. Naudzubillaah.
Sebelum jauh melihat kisah di akhirat, kita sudah melihat bahaya lisan di dunia. Di dunia saja, sudah Allah tampakkan hukuman dunia bagi yang tidak menjaga lisannya. Bisa dihukum karena kasus pencemaran nama baik, penistaan agama, dan lain sebagainya. Dan ini baru hukuman dunia yang faanaa, bagaimana dengan akhirat yang abadaa?
Latihlah diri untuk mengerem semua yang kita amalkan, pertimbangkanlah baik buruknya. Walaupun hanya untuk niat bercanda, jangan sampai apa yang dianggap lucu tersebut justru menyakiti orang lain, dan menjadi boomerang untuk diri sendiri. Walaupun sudah meminta maaf, komunikasi itu bersifat ‘Irreversible’, tidak dapat diulang. Memang, yang disakiti telah memaafkan, namun perkataan yang menyakitkan tersebut, tidak bisa dilupakan dan berbekas di hati.
Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dan lakukan yang terbaik. Mulailah dengan amalan yang kecil, namun berdampak yang besar, dzikrullah. Setiap sedang melakukan kegiatan yang tidak mengharuskan kita berkomunikasi dengan orang lain, berdzikirlah pada Allah. Tentu Allah pun akan menjaga hambanya yang senantiasa mengingat-Nya.
Terlebih, kita tidak bisa untuk memperbaiki diri sendiri. Butuh lingkungan yang kondusif untuk konsisten memperbaiki diri. Bertemanlah dengan orang yang sama-sama ingin memperbaiki diri. Ketika kita lengah, dia bisa mengingatkan, dan sebaliknya.
Lisan, dapat menunjukkan kualitas seseorang. Jika orang tersebut banyak berbicara yang tidak bermanfaat, tentu kehidupan yang dia jalani tidak jauh dari hal tersebut. Jadi, hati-hatilah dalam mengeluarkan kata-kata dari lisan ini. Belajarlah mengerem diri.
Tak tahu hidup kita sampai kapan, namun manfaatkanlah karunia yang Allah berikan ini, untuk berbuat kebaikan. Jangan sampai menyesal karena lisan yang tidak terjaga. Karena lisan, dapat menjadi salah satu jalan akhir kehidupan ini, surgamu atau nerakamu.
Semoga kita bisa mulai belajar untuk menjaga lisan. Menahannya dari sesuatu yang tidak bermanfaat, dan mengerem diri dari perbuatan sia-sia. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.
(Alma Fauzal Jannah-Wakaf- Fundraising)