Berbakti Pada Ibu
Bagi seorang muslim, penghormatan kepada ibu termasuk bagian bakti kepada Allah SWT. Sebab Allah memerintahkan agar kita senantiasa berbakti kepada kedua orangtua, khususnya ibu. Sebaliknya, apabila kita kurang berbakti atau bahkan menyakiti hati dan perasaan ibu, maka kita mengundang murka Allah.
“Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan terhadap kedua orang tua, ayah ibu harus berbakti (berbuat baik).” (QS. an-Nisa: 36)
Rasulullah saw mempertegas perintah Allah itu. Datanglah seseorang kepada Rasulullah dan bertanya, “Siapakah yang berhak aku layani sebaik-baiknya?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Jawab Rasul, “Ibumu.” “Lalu siapa lagi?” Jawab Rasul, “Bapakmu.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra)
Islam sangat besar perhatiannya terhadap nasib kaum ibu. Hal ini sekaligus menepis anggapan keliru kaum feminisme bahwa dalam Islam perempuan (baca: ibu) mempunyai tingkatan atau derajat di bawah laki-laki, bahkan eksistensinya sering terpinggirkan.
Mengapa dalam Islam perhatian terhadap kaum ibu sangat besar? Allah SWT memberikan penjelasan, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapih dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14)
Karena itu, bagi seorang muslim, ada atau tidak ada Hari Ibu yang biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, tetap berkewajiban berbakti kepadanya. Kewajiban ini sebagai bagian dari keimanan dan ibadah kepada Allah SWT. Kita harus tetap memuliakan dan menghormati ibu, apalagi jika orangtua kita itu telah tua renta dan lanjut usia.
“Apabila telah lanjut usia salah seorang ibu atau bapak atau keduanya, maka janganlah kamu berkata kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkan (doa): ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (QS. al-Isra: 23-24)
Jangan sampai kita membuat ibu kita hidupnya telantar, membiarkannya jadi pengemis di jalanan, atau menempatkannya di panti jompo. Padahal sudah begitu banyak pengorbanan yang telah dikorbankan oleh seorang ibu untuk membesarkan anaknya, dan itu tak mungkin dapat dibalas oleh anaknya sampai kapan pun. Tapi, kebaikan seorang ibu yang demikian besar itu malah dibalas dengan penderitaan teramat perih oleh anaknya.
Kita sering menyaksikan di televisi bagaimana seorang ibu meninggal dengan cara tak wajar akibat dibunuh oleh anaknya sendiri. Na’udzubillah. Jika seorang anak memarahi, memukul, melukai, bahkan membunuh ibunya, maka mereka tergolong anak durhaka.
“Dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua ayah bundanya dan membunuh manusia dan sumpah palsu (sumpah yang menenggelamkan ke dalam neraka).” (HR. Bukhari)
Dalam masyarakat kerap kita dengar, disampaikan para ustaz yang perlu dikoreksi, tentang sebuah contoh anak durhaka kepada ibunya yang terjadi pada zaman Rasulullah saw, yakni al-Qamah. Kisah ini perlu kita kritisi sebab hadis tentang al-Qamah itu sangat lemah, yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil (Abdul Hakim Abdat, 2003: 166-169).
Justru yang lebih tepat sebagai contoh anak yang durhaka adalah berpegang kepada sabda Rasulullh saw ini, “Dari pada dosa-dosa besar ialah seseorang yang memaki kedua ayah bundanya. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, adakah seseorang yang memaki ayah bundanya? Jawab Rasul, “Ya, dia memaki ayah orang lain, lalu dibalas dimaki ayahnya atau ia memaki ibu orang lain, lalu dibalas dimaki ibunya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Semoga kita bisa menjadikan setiap hari kita sebagai hari berbakti kepada ibu, tidak harus menunggu sebulan apalagi setahun sekali. Mumpung ibu kita masih diberi oleh Allah nafas kehidupan. Kalau pun ibu kita sudah meninggal, maka doa dan amal saleh yang kita lakukan semoga menjadi bagian amal saleh juga bagi ibu kita. Aamiin. (Suhendi)