Berani Menikah
Seorang pemuda yang baru menyelesaikan kuliah berbicara pada kedua orangtuanya, ia ingin segera menikah supaya terpelihara dari kemaksiatan. Sebenarnya pemuda ini punya target menikah ketika masih kuliah, tapi Allah tampaknya belum mengizinkan. Akhirnya ia pun memutuskan menikah selesai kuliah.
Kedua orangtuanya pun kaget mendengar keinginan anaknya itu. Anaknya baru diwisuda, belum bekerja. Kedua orangtuanya khawatir anaknya itu tak akan bisa menafkahi keluarganya. Tingkat kematangan si anak masih dipertanyakan, apakah ia mampu memimpin keluarga dengan baik? Sebenarnya kekhawatiran kedua orangtuanya sempat dirasakan si pemuda. Keyakinan kepada Allah SWT membuat pemuda itu yakin, Allah yang akan membimbing dan menjamin rezekinya.
Memang pemuda itu belum bekerja, tak punya tabungan sepeser pun. Maklum ia baru selesai kuliah dan ia sendiri yang membiayai kuliahnya. Kedua orangtuanya sudah tua dan hidup sederhana, untuk bisa kuliah pemuda itu mengandalkan beasiswa dan berjualan.
Menjelang pernikahan, ia berusaha menjemput rezeki supaya pernikahannya bisa dibiayai tanpa bergantung pada orangtua dan orang lain. Di samping itu, kelak apabila ia sudah menikah punya penghasilan yang bisa diandalkan untuk menafkahi keluarganya.
Menjelang pernikahkan, ia mengalami peristiwa yang bagi sebagian orang tak masuk akal. Rekening tabungan pemuda itu dalam tempo satu minggu saldo tabungannya mengalami peningkatan. Beasiswa kuliah yang diajukannya semasa kuliah, baru cair ketika ia selesai kuliah dan menjelang nikah. Bentuk pertolongan Allah lainnya. Akhirnya pemuda itu bisa mengumpulkan sejumlah uang yang relatif cukup untuk membiayainya menikah.
Pernikahan itu pun berlangsung dengan khidmat. Kini pemuda itu hidup bahagia dengan istri dan anaknya. Kehawatiran yang selama ini dipikirkan kedua orangtuanya dan sempat terpikir oleh dirinya, sama sekali tak terjadi. Bahkan selesai menikah dan punya anak ia mampu untuk melanjutkan kuliah lagi di program pasca sarjana di salah satu perguruan tinggi.
Materi Bukan Kendala
Belum ditemukan dalam riwayat, Rasulullah melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat, Rasulullah saw bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh per bulan. Rasulullah menanyakan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surah al-Quran.
Rasulullah tak ingin pernikahan jadi masalah, melainkan sebagai pemecah masalah. Pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Materi janganlah jadi penghalang untuk melangsungkan pernikahan.
Masalah penghasilan selalu jadi penghalang setiap pemuda ketika memasuki wilayah pernikahan. Ketakukan tak bisa memberi makan, keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tak sedikit, menghantui pemuda untuk berkeluarga. Bahkan ada pemuda yang menurut ukuran kita mapan, namun belum juga siap menikah. Setan akan senantiasa membujuk kita untuk tak menikah dengan ketakutan-katakutan, kadang ketakutan yang tak rasional.
Sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun lalu membuktikan, banyak dari mereka yang menikah belum mapan secara ekonomi. Dan ternyata mereka bisa hidup bahagia dan punya keturunan. Ini membuktikan, kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi seorang pemuda untuk mengakhiri masa lajangnya.
Pintu Masuk Rezeki
Salah satu cara meraih jatah rezki, pintu masuknya menikah. Allah akan memampukan jika mereka miskin dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui (QS. an-Nur: 32). Ini bentuk jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tak membuat risau dalam pernikahan.
Rasulullah saw pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan rida-Nya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadis lain disebutkan tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i).
Kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab jauh lebih penting daripada sekadar materi. Setiap perbuatan akan dipertangungjawabkan di hadapan Allah SWT. Seorang suami akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dalam memimpin keluarga. Tak sedikit suami yang berpenghasilan besar namun anak dan istrinya hidup sengsara, suami tak mau menafkahi. Ini contoh suami tak punya rasa tanggung jawab.
Di dalam al-Quran maupun Sunnah, tak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadis berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Pengalaman membuktikan, menikah tak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Bahkan tak sedikit yang jadi kaya raya, menikah jadi memotivasi untuk bekerja keras. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal.
Menikah adalah Ibadah
Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah merupakan sunnatullah yang tak mungkin diganti dengan cara apa pun. Jika Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tak memungkinkan. Apakah kita mau puasa terus?
Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, menikah harus dianggap sebagai ibadah. Kita seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya, tanpa beban. Apa pun kondisi ekonomi kita, jika keharusan menikah telah tiba, jalani saja dengan jiwa tawakal kepada Allah. Sudah terbukti, orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Pertolongan Allah bersama hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya untuk membangun rumah tangga sejati.
Idealnya kita berani berlomba menegakkan pernikahan. Terlebih Allah SWT menjamin bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan cara membangun pernikahan. Orang yang berzina begitu berani melakukannya, padahal itu dibenci manusia dan dimurkai Allah. Mengapa yang jelas-jelas perintah Allah dan dicontohkan Rasulullah kita tak berani? Wallahu a’lam bishshawab. (daaruttauhiid)