Bekerja dan Beramal Saleh

Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 82).

Saudaraku, sungguh beruntung orang yang Allah karuniai pekerjaan dan dengan pekerjaannya itu ia semakin dekat dengan Allah. Boleh jadi mungkin pekerjaannya hanyalah pekerjaan yang bagi kebanyakan orang dipandang sebagai pekerjaan rendahan. Tetapi, ia memelihara kejujuran, menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab. Ia jauhi sikap curang, culas, licik, dusta. Baginya, pekerjaannya adalah ladang untuk beribadah kepada Allah SWT.

Ada seseorang yang bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, ia senantiasa berupaya sekuat tenaga untuk salat di awal waktu. Begitu azan berkumandang, ia segera mengambil air wudu dan salat. Baginya, Allah yang paling utama, karena hanya Allah yang kuasa memberinya rezeki, daya, kekuatan, dan kemampuan untuk bekerja. Dan, di tangan Allah pula sumber keselamatan.

Atau, ada seseorang yang bekerja sebagai petinggi di sebuah perusahaan besar. Gaji dan tunjangannya pun besar, setara dengan wewenang dan tanggung jawab yang dipikulnya. Namun, semua fasilitas tersebut tidak membuatnya lupa diri. Ia tetap merunduk, tawadu, senantiasa memeriksa hatinya agar bersih dari perasaan sombong. Jabatan dan wewenang yang ia miliki ia jalankan dalam koridor keridaan Allah.

Tiada rasa sungkan baginya mengajak bawahannya agar bekerja dengan jujur dan selalu mengutamakan Allah dalam setiap kegiatan mereka. Kadang sebagian orang ada yang merasa canggung untuk menghidupkan nuansa agamis di lingkungan pekerjaannya. Ada yang takut dipandang kolot atau kuno oleh orang lain. Ada yang merasa segan takut dipandang ekstrim, dan alasan-alasan lainnya.

Sedangkan bagi orang yang beruntung, ia justru memandang posisi apa pun, jabatan apa pun, tiada datang begitu saja kepadanya melainkan atas izin Allah SWT. Dan, perbuatan Allah itu pasti tidak ada yang sia-sia, selalu ada hikmah di baliknya. Maka, ia selalu bersyukur atas apa pun takdir Allah. Rasa syukurnya itu ia wujudkan dengan menjadikannya sebagai ladang amal saleh baginya. Masya Allah. 

Saudaraku, ibadah kepada Allah itu bukanlah sebatas salat, saum, zakat dan umrah atau haji saja. Sesungguhnya setiap aspek dalam kehidupannya kita sehari-hari seluruhnya adalah kesempatan beribadah dan memang harus bernilai ibadah. Sungguh rugi bagi orang yang melewatinya secara sia-sia. Dan, lebih rugi lagi orang yang menjalaninya dengan kemaksiatan, malah menumpuk-numpuk dosa.

Allah berfirman, “Katakanlah: sesungguhnya salatku, ibadah (kurban)ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’am [6]: 162). 

Untuk para pebisnis, kegiatan bisnis mesti menjadi lahan ibadah. Karena setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah menjadi ladang amal saleh bagi dirinya, termasuk yang takdirnya menjadi seorang pedagang.

Ibadah itu minimal ada dua syaratnya. Pertama, niat lurus lillaahi ta’ala, hanya mengejar rida Allah. Dan yang kedua, caranya benar di jalan Allah SWT.

Mengapa bisnis kita harus jadi ibadah? Karena kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa rezeki itu sepenuhnya sudah diatur oleh Allah. Setiap makhluk yang Allah ciptakan itu sudah dilengkapi dengan rezekinya. Mari kita renungkan firman Allah SWT, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud [11]: 6).

Tidak ada satu pun yang terlewat di antara segala makhluk yang ada di alam semesta ini, kecuali telah Allah jamin rezekinya. Bahkan sejak manusia masih berada di dalam rahim ibunya, Allah sudah jamin rezekinya meski ia belum bisa berikhtiar untuk menjemput rezeki Allah SWT.

Setelah beranjak dewasa, manusia diperintahkan melakukan ikhtiar menjemput rezeki Allah yang bertebaran di muka bumi ini. Mengapa kita istilahkan dengan ‘menjemput’, bukan ‘mencari’? Karena kalau ‘menjemput’ itu sudah pasti ada, sedangkan ‘mencari’ itu belum tentu ada.

Hanya saja apakah kita terampil menjemput rezeki Allah sesuai dengan tata cara yang Ia ridai, ataukah tidak? Inilah yang menentukan keberkahan rezeki yang kita peroleh. Inilah yang menentukan ikhtiar kita menjadi ibadah ataukah tidak.

Jika niat kita lurus dan cara kita benar, maka kita akan berjumpa dengan rezeki yang menjadi hak kita dalam keadaan berkah. Hati kita akan tenang, kebutuhan kita tercukupi, dan menjadi amal saleh yang bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.

Sedangkan jika niat kita salah dan tata cara ikhtiar kita juga tidak sesuai dengan yang Allah ridai, maka kita akan diliputi rasa cemas dan gelisah. Tidak yakin jaminan Allah. Kita merasa harus bertarung dengan orang lain. Kita lupa setiap orang sudah ada jatah rezekinya masing-masing.

Bisnis adalah amal saleh. Bahkan bisnis dicontohkan pula oleh Nabi Muhammad saw. Bisnis harus menjadi ibadah dengan cara niat yang lurus karena Allah, dan tata cara yang juga baik dan benar sesuai dengan yang Allah ridai. Kejujuran, bertanggung jawab, tidak berbuat curang dalam timbangan, memberikan informasi apa adanya tentang kondisi barang dagangan kepada konsumen, adalah beberapa di antara wujud ikhitar yang baik dan benar.

Jika demikian, maka Allah akan memberikan kemudahan memperoleh ide dan inspirasi kepada kita sehingga bisnis kita semakin berkah, semakin bermanfaat bagi lebih banyak orang dan bernilai ibadah. Insya Allah.

Suatu ketika Kumail bin Yizad berjalan dengan Ali Abi Thalib. Kemudian, Ali menoleh ke sebuah kuburan lalu berkata, “Wahai penghuni tempat yang menyeramkan, wahai penghuni tempat penuh bala`, bagaimana kabar kalian saat ini? Maukah kalian kuberitahu kabar dari kami? Harta kalian telah dibagi-bagi, anak-anak kalian telah menjadi yatim, dan istri kalian telah dinikahi oleh orang lain. Kini, maukah kalian memberi kabar kepada kami?”

Lalu, Ali berkata, “Wahai Kumail, seandainya mereka diizinkan menjawab, mereka akan mengatakan, “Sebaik-baiknya bekal adalah takwa.”

Ali menangis sejenak. Lalu berkata, “Wahai Kumail, kuburan itu adalah kotak amal, dan di kala kematian, kabar dari isi kotak amal itu akan menghampirimu.” (Kanzul `Ummaal, Juz III, hal.697).

Apa yang akan kita bawa sebagai bekal di akhirat hanyalah amalan kita atas harta, jabatan, kekuasaan, dan segala apa yang ada pada diri kita. Semua yang pernah kita lakukan akan terbuka. Semua amal itu akan berbalik kepada kita. Amal baik diberi ganjaran kebaikan, demikian pula sebaliknya. Maka orang yang paling beruntung tiada lain adalah yang menjadikan setiap apa yang dimilikinya sebagai lahan untuk beramal saleh dan beribadah kepada Allah SWT. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung itu. (KH. Abdullah Gymnastiar)