Bebas Membangun Rumah Ibadah, Makin Rukun atau Makin Rusuh?

DAARUTTAUHIID.ORGMudahnya izin pendirian rumah Ibadah yang dilontarkan oleh Kementerian Agama beberapa waktu lalu masih belum bisa mantap diterima oleh semua kelompok agama di Indonesia.

Kemenag menargetkan terbitnya Perpres tentang Kerukunan Umat Beragama yang di dalamnya bakal mempermudah izin pendirian rumah Ibadah.

Juru bicara Kemenag Anna Hasbie mengatakan, beberapa hal yang berubah dari PBM adalah pendirian rumah Ibadah hanya cukup dengan satu rekomendasi dari kepala kantor Kemenag di daerah setempat. Alhasil, tidak perlu lagi ada rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama  (FKUB).

Ini karena mereka menganggap masih ada umat beragama yang kesulitan mendirikan rumah Ibadah tersebab tidak mendapatkan rekomendasi dari FKUB.

Meski Persatuan Gereja Indonesia (PGI) sudah menyetujuinya, tapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih meminta agar peraturan baru ini didiskusikan lebih lanjut dengan majelis-majelis agama lainnya (bbc.com).

Apabila alasan Kemenag mengubah aturan pendirian rumah Ibadah karena terjadi diskriminasi mayoritas atas minoritas, semua itu tidak ada buktinya, padahal jumlah gereja di Indonesia justru meningkat pesat selama tiga tahun terakhir.

Berdasarkan data Kemenag, pada 2021, jumlah gereja sebesar 72.233 atau meningkat 23,46% dari 2019. Sementara itu, jumlah masjid pada 2021 meningkat hanya 1,97% dari 2019, yakni sebanyak 285.631.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, jumlah umat Islam di Indonesia sangat besar, yaitu 86,93% dari penduduk Indonesia, tetapi jumlah masjid yang didirikan hanya 74% dari total rumah Ibadah.

Bandingkan dengan gereja, populasi umat Kristen hanya 10,55%, tetapi jumlah gereja jauh lebih besar, mencapai 22,28% dari jumlah total rumah Ibadah. Artinya, jumlah gereja sudah melebihi kebutuhan jemaat. Jadi di mana letak diskriminasinya?

Sebaliknya, umat Islam justru merasakan adanya diskriminasi dengan berbagai kebijakan, bahkan sering mendapat tuduhan miring.

Mislanya kebijakan deradikalisasi yang menuding umat Islam sebagai kaum “radikal dan intoleran”. Lihatlah para ulama yang lantang menyuarakan kebenaran, malah dikriminalisasi.

Masjid sebagai tempat umat beribadah dan menimba ilmu, tidak luput dari stigma tersebut. Misalnya, larangan membicarakan politik di masjid, padahal politik adalah bagian dari ajaran Islam.

Lalu sertifikasi dai dan wacana penyeragaman teks khotbah Jumat yang pada akhirnya mengebiri ajaran Islam sepentunganas kepentingan penguasa.

Jadi, akar masalah semua ini sejatinya lahir dari kegagalan negara dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama, bahkan kerukunan antarumat manusia.

Lihatlah kriminalitas yang terus meningkat, bukankah ini menyebabkan hubungan antarmanusia menjadi buruk? Ataupun hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, bukankah ini bentuk diskriminasi antara yang kuat dan yang lemah?

Dalam Islam permasalahan seperti  ini mudah diatasi. Karena ajaran Islam merupakan ajaran sempurna dari Tuhan, Sang Maha Pencipta alam semesta yakni Ta’ala yang diturunkan untuk mengatur umat manusia.

Alhasil, penerapan seluruh aturannya akan menciptakan kerukunan antarumat beragama.

Syariat Islam diturunkan oleh Allah Ta’ala bukan untuk mengatur umat Islam saja, melainkan juga untuk seluruh umat manusia.

Setiap warga, baik muslim ataupun nonmuslim, akan diperlakukan sama sebagai penduduk negara. Tidak boleh ada paksaan untuk masuk dalam agama Islam, sesuai firman suci-Nya dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi :

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Islam juga memiliki aturan mengenai pembangunan rumah ibadah non-muslim, yaitu hanya boleh dibangun di pemukiman mereka. Di pemukiman warga muslim, tidak boleh dibangun rumah ibadah, kecuali masjid.

Hal ini merupakan penjagaan negara terhadap akidah umat sebab tempat peribadatan adalah sarana untuk syiar agama.

Terkait hal ini, seharusnya negara melarang semua aspek yang terkategori syiar agama non-muslim di wilayah muslim.

Dalam sejarah telah tercatat bukti bahwa telah tercipta suatu kerukunan hidup yang sangat menentramkan para umat beragama.

Contohnya, Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City, Three Faiths, mengakui kehebatan Umar bin Khaththab ra. dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Palestina di masa itu.*

Redaktur: Wahid Ikhwan

__________________________

DAARUTTAUHIID.ORG

(Sumber: Hidayatullah, Mirotul Lailiyah, Aktivis Muslimah Gempol, Jakarta Insider)