Bagaimana Hukum Menikahi Wanita Hamil Dalam Islam?
DAARUTTAUHIID.ORG | Pada saat ini banyak bermacam pesoalan yang memerlukan penjelasan ilmu. Salah satunyamengenai hukum menikahi wanita yang sedang hamil dalam Islam? Agar tidak terdapat kekeliruan dan melanggar syariat Islam maka dibutuhkan hukum yang tepat untuk menjawabnya.
Bagi wanita yang sedang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat.
Pendapat pertama hukum menikahinya ialah haram.
Pendapat haram ini mengacu pada mazhab Maliki dan mazhab Hanafi. Termasuk juga pendapat Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Landasaan pendapat tersebut bersandar pada firman Allah Ta’ala:
“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur: 3).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata:
“Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat An-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak.”
Alasan kedua dari Hadis Nabi Shallalhu ‘alaihi wasallam yang menyampaikan:
“Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya).” (HR Abu Dawud).
Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud Radhiyallahu-anhu. yang menyatakan, “Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.”
Pendapat kedua memperbolehkan untuk menikahi tanpa syarat
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii. Pendapat tersebut yang bersandar pada firman Allah Ta’ala:
“Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina.” (QS an-Nisa’: 24).
Ada juga hadis penuturan Aisyah Radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa:
“Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.”
Diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir Radhiyallahu-anhu, bahwa Abu Bakar berkata, “Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”
Pendapat ketiga memperbolehkan dengan beberapa syarat
Berdasarkan pendapat mazhab Hambali bahwa Syarat-syarat yang harus dipenuhi yakni kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya. Seseorang juga telah bertobat dengan tobatan nashuha. Ini merupakan pendapat mazhab Hambali. Pendapat ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur: 3).
Dari ketiga pendapat diatas yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hambali, yang menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan beberapa syarat :
1. Kehamilannya telah berakhir, atau masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.