Arti Keberanian Sejati
Salah satu ciri orang beriman adalah memiliki keberanian lillaahi ta’ala. Orang yang yakin Allah adalah Rabb-nya, hanya Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, seluruh makhluk adalah lemah tidak punya daya dan upaya kecuali dengan setitik kekuatan pemberian Allah SWT. Maka, tiada yang takuti di dalam hatinya kecuali kemurkaan Allah. Tidak akan ia gentar di hadapan apa pun dan siapa pun. Tidak ada rasa takut pada ancaman apa pun, kecuali ancaman dari keburukan dirinya sendiri yang mengundang kemurkaan Allah.
Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3]: 139).
Keberanian adalah sifat terpuji, jika lahir dari tauhid yang lurus nan bersih. Keberanian seperti ini adalah sifat yang didambakan setiap orang, karena hanya orang-orang yang memiliki keberanianlah yang mampu melakukan perubahan dan menghadirkan perbaikan-perbaikan.
Rasulullah saw merupakan contoh terbaik dari karakter pemberani. Bagaimana tidak, Rasulullah sejak kanak-kanak sudah dikenal baik oleh masyarakat kafir Quraisy, dikenal dengan baik sebagai pemuda yang jujur dan dikagumi karena kebaikan budinya, memilih untuk menyampaikan tauhid kepada mereka yang jelas-jelas menyembah banyak berhala. Rasulullah mengambil resiko untuk dibenci, dikucilkan, disakiti demi menyampaikan risalah Allah, mengajak mereka menyembah Allah semata.
Akibatnya tentu saja orang-orang yang dulunya mengagumi beliau, berbalik menjadi benci. Orang yang dulunya memuji beliau, berbalik menjadi mencaci. Orang yang dulunya mendekati, berbalik menjauhi. Orang yang dulunya mencintai, berbalik jadi menyakiti. Rasulullah mengambil resiko dibenci, bahkan oleh keluarga atau kerabatnya sendiri. Namun, inilah keberanian sejati. Keberanian yang datang karena menaati Allah dan mengharapkan rida-Nya.
Keberanian jugalah yang tampak dari sosok Siti Khadijah manakala bersyahadat mengikrarkan keislamannya dan menikah dengan Rasulullah. Khadijah sebagai wanita yang terpandang dan terhormat di antara kaumnya, tentu sangatlah mengetahui resiko yang dihadapi ketika memilih Islam dan menikah dengan Rasulullah. Namun, segala resiko itu diambilnya dengan penuh ketangguhan, mendampingi Rasulullah pada masa-masa yang teramat sulit saat itu. Betapa pengorbanan yang sangat besar telah dilakukan oleh Khadijah.
Tentang keberanian Rasulullah, tecermin pada sebuah riwayat berikut ini manakala Rasulullah saw berhadapan dengan para pembesar kaum kafir Quraisy. Abdullah bin Amr mengutarakan, “Aku pernah melihat dalam sebuah majelis mereka (kaum kafir Quraisy), pada suatu hari pembesar-pembesar itu berkumpul di Hijir Ismail. Mereka membicarakan Rasulullah saw.
Mereka berkata, “Kita tidak pernah melihat kesabaran kita dalam menghadapi sesuatu, lebih besar kecuali terhadap orang ini (Muhammad saw). Ia menganggap bodoh orang-orang pintar di antara kita, menghina bapak-bapak kita, mencela agama kita, memecah belah persatuan kita, dan mencela Tuhan-tuhan kita. Sungguh kita telah sabar kepadanya atas suatu urusan yang besar.”
Ketika mereka sedang berbincang-bincang seperti itu, datanglah Rasulullah saw. Beliau mengusap rukun Yamani, mengelilingi Baitullah, dan melintasi mereka. Ketika mereka melihat beliau lewat, mereka pun menghinanya.
Abdullah bin Amr melanjutkan, “Aku mengetahui hal itu dari ekspresi wajah beliau. Kemudian beliau berlalu. Ketika beliau melewati mereka untuk kedua kalinya, mereka pun kembali mencelanya. Dan aku bisa mengetahui hal itu dari wajahnya. Namun beliau tetap tidak mempedulikannya. Lalu beliau melewati mereka lagi, dan mereka kembali mencelanya. Maka, Rasulullah saw bersabda, “Dengarlah wahai orang-orang Quraisy, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, sungguh aku datang untuk menyembelih kalian!!”
Maka kata-kata itu menjadikan mereka gentar. Sehingga, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali seolah di atas kepala mereka ada burung yang hinggap.” (HR. Ahmad).
Disebutkan bahwa para pembesar Quraisy bersikap seolah ada burung hinggap di atas kepala mereka, ini menggambarkan mereka terkejut dan ciutnya nyali mereka.
Sifat berani itu tentu bukan berarti tidak memiliki rasa takut. Karena sebagaimana wajarnya seorang manusia, rasa takut merupakan tabiat dari manusia. Namun, seorang pemberani adalah orang yang bisa mengendalikan rasa takutnya. Ia bisa mengendalikan diri untuk takut hanya pada hal yang memang sepantasnya ditakuti, dan tidak takut kepada hal-hal yang memang sudah sepatutnya tidak perlu ditakuti.
Oleh karena itulah, tidak jarang kita menemukan orang yang celaka hanya disebabkan oleh rasa takut dirinya sendiri. Rasa takut yang tidak pada tempatnya membuat dia tidak bisa mengendalikan diri, akalnya menjadi sempit, hatinya menjadi ciut, hingga lisan dan perbuatannya tidak terkendali. Contoh kecilnya misalnya ada orang yang karena sedang sendirian ia merasa takut pada hantu, kemudian ia terbawa oleh perasaannya itu lalu berlari padahal keadaan sedang gelap, kemudian dia tersandung sesuatu dan terjatuh. Orang yang berani pasti bisa mengendalikan rasa takutnya, mengedepankan akalnya dan mengendalikan dirinya.
Berani itu bukanlah nekat. Keberanian juga tidaklah identik dengan sikap yang kasar, ucapan yang lantang atau hal-hal lain yang mengekspresikan kekuatan. Karena bukankah Utsman bin’Affan merupakan sahabat Rasulullah yang paling pemalu. Namun, justru Utsmanlah yang mampu membangun armada angkatan laut pasukan kaum muslimin, hal yang tidak ditempuh oleh Umar bin Khaththab karena dianggap sangat beresiko.
Keberanian yang sejati lahir dari ketataan kepada Allah SWT. Dakwah tidak bisa dilakukan kecuali oleh mereka yang berani menyampaikan kebenaran, mengajak kepada kebaikan dan menyeru untuk menjauhi kemaksiatan. Tobat tidak bisa dilakukan kecuali oleh mereka yang berani melawan hawa nafsunya sendiri. Tiada perbaikan kecuali dengan keberanian, tiada kemajuan kecuali dengan keberanian. Milikilah keberanian karena Allah Taala. (KH. Abdullah Gymnastiar)