Antara Nafsu dan Ilmu
Islam mengajarkan umatnya agar selalu cinta kepada ilmu. Mengapa bukan harta? Karena ilmu adalah satu-satunya alat untuk menggapai segalanya, termasuk harta.
Ilmu berasal dari bahasa Arab, alima, ya’lau, ilman, yang artinya pengetahuan. Ilmu merupakan perkara abstrak yang tidak bisa dilihat dengan mata lahir. Ia hanya bisa dirasakan ketika ilmu itu mewujud dalam bentuk perbuatan.
Gambaran ilmu demikian ini adalah ilmu yang bermanfaat. Menjadi sangat penting karena ilmu dicari bukan untuk dirinya sendiri, tetapi harus bisa menebar kebaikan kepada orang lain. Pepatah arab mengatakan, “al ilmu bila amalin kassyajari bila samarin”. As-Syajar merupakan buah dari ilmu yang mewujud dalam bentuk perbuatan. Menjadi pribadi yang bisa memberi manfaat bagi orang lain, dan berkontribusi positif bagi kehidupan. Untuk memperolehnya seseorang harus mempunya ilmu.
Begitulah arti sebuah ilmu. Ia lebih bermanfaat dari pada dunia dan isinya. Karena yang menggerakkan segala isi dunia ini adalah ilmu. Bayangkan, uang tidak akan berarti jika tidak ada nilai nominalnya. Nilai nominal itu ada dikarenakan ilmu yang berbicara. Emas, perak, semua bernilai tinggi dikarenakan ilmu menganggap kedua barang itu langka dan indah sehingga nilai jualnya tinggi.
Cara Menghargai Ilmu
Ilmu menjadi berharga karena pemiliknya menghargai. Cara menghargai sebuah ilmu adalah dengan cara mengamalkannya. Ilmu setinggi langit tidak mempunyai arti apabila dibiarkan begitu saja. Ia bahkan jauh lebih bodoh dari pada orang yang bodoh. Padahal ilmu merupakan sesuatu yang membedakan di antara mereka. Andaikan ilmu yang dimiliki itu tidak dilakukan, apalah arti sebuah ilmu itu?
Kita bisa melihat banyak orang pintar menjadi susah karena ilmunya. Para koruptor yang dipenjara sebenarnya sudah tahu, mencuri uang rakyat (korupsi) dampaknya begitu besar. Bukan hanya di penjara, dia juga mendapat sanksi sosial sekaligus dipecat dari pekerjaannya. Akan tetapi mengapa pengetahuan yang sudah diketahui itu tidak dijalankan? Mereka bisa berbuat seperti itu disebabkan ilmu yang mereka miliki tidak dijalankan. Karena kecorobohan itulah ilmu balik menyerang dirinya yang tidak mau menghargai sebuah ilmu.
Ilmu memang demikian. Ia seperti pisau bermata dua. Apabila diamalkan, ilmu akan mengangkat derajatnya, baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana janji Allah. Sebaliknya, mereka yang tidak menjalankannya, ia akan jadi hina melebihi hinanya binatang.
Pada zaman Nabi Musa ada seorang ulama yang mempunyai banyak karomah (keistimewaan). Akan tetapi ulama yang mempunyai banyak karomah itu menjadi hina dan murtad dikarenakan banyak melakukan dosa-dosa besar. Dia bisa menjadi seperti itu dikarenakan nafsu sudah mengalahkan dirinya. Dalam pengaruh nafsu tersebut akhirnya ulama tadi tak bisa mengendalikan dirinya, sehingga lupalah akan ilmu yang seharusnya membentengi dirinya.
Kesalahan manusia yang menjadikan dirinya terjebak dalam lubang kemaksiatan atau kehinaan disebabkan kealpaan akibat dari pengaruh nafsu. Ilmu yang seharusnya bisa mengalahkan nafu, justru berbalik arah. Hal ini dikarenakan nafsu lebih banyak keindahannya. Di balik keindahan itu ternyata tersimpan kehinaan-kehinaan yang menjadikan seseorang merugi akibat melakukannya.
Judi, zina, miras, narkoba, korupsi, dilihat dari tampilan luarnya terasa indah. Keindahan dan kenikmatan dunia semua terdapat dalam perbuatan tersebut. Akibat melakukan perbuatan itu, jutaan orang tersiksa dan menjadi hina di dunia. Semua itu disebabkan kealpaan manusia dari pengaruh nafsu setan yang menjanjikan keindahan dan kenikmatan. Oleh kerenanya nafsu bisa dilawan tidak dengan pedang maupun senjata, tapi dengan ilmu.
Ilmu vs Nafsu
Ilmu adalah cahaya. Ia bisa berarti cahaya saat dalam kegelapan atau cahaya dalam cahaya. Ketika manusia terperangkap dalam lubang nafsu yang menjerumuskan berbuat dosa, ilmu akan menjauhkan dirinya dari pengaruh nafu. Ilmu sebagai penunjuk akan membawa dirinya jauh dari kesesatan. Hal ini bisa terjadi manakala seseorang itu menghargai atas ilmu yang dimilikinya. Jadi, seseorang harus berpegang teguh dengan ilmu bahwa berbekal dengan ilmu akan menjauhkan dirinya dari nafsu setan yang selalu menggoda.
Memang antara nafsu dengan ilmu selalu berperang. Ilmu bertempat pada akal. Setiap saat nafsu selalu mengajak berbuat yang enak-enak tanpa memandang halal atau haram. Ajakan nafsu untuk berbuat demikian jika tanpa perlawanan ilmu, semuanya akan dituruti. Karena ilmu akan berbicara, perbuatan ini baik, perbuatan itu buruk. Dengan begitu hati akan memilih antara kedua hal itu. Apabila nasu lebih mendominasi, ilmu akan kalah dan ajakan melakukan sesuatu yang enak-enak (dosa) pun terjadi. Sebaliknya, jika jiwa ini bisa dikendalikan oleh ilmu, nafsu akan kalah.
Jadi, jelaslah lawan nafsu adalah ilmu. Ilmu selalu mengajak melakukan perbuatan yang baik, sedangkan nafsu mengajak berbuat jelek. Tanpa ilmu, nafsu akan selalu mengendalilkan manusia untuk berbuat tidak baik dan jauh dari nilai-nilai keluhuran. (daaruttauhiid)