Allah Ash-Shamad
Ash-Shamad ditulis di dalam al-Quran. “Katakanlah: ‘Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Ibn Jarir dalam tafsirnya menerangkan bahwa ash-Shamad berarti tuan yang sempurna dalam kedudukannya, yang mulia dan sempurna dalam kemuliaannya, yang agung dan sempurna dalam keagungannya, yang lembut dan sempurna kelembutannya, yang kaya dan sempurna kekayaannya, yang perkasa dan sempurna dalam keperkasaannya, yang berilmu dan sempurna dalam keilmuannya, hakim dan sempurna dalam hikmahnya. Dialah Allah, yang Mahasempurna dalam segala bentuk kemuliaan. Sifat-sifat ini tidak layak kecuali hanya bagi Allah SWT.
Jadi, dalam Ash-Shamad ini berhimpun segala puncak kemuliaan, keilmuan, kedudukan, ketinggian, keperkasaan, dan kebijaksanaan, sehingga tidak ada lagi celah kekurangan dalam bentuk apa pun. Seperti celah yang tidak ada rongga sama sekali dan tidak tersentuh oleh kekurangan dalam bentuk apa pun dan dari sisi mana pun.
Allahusshamad. Sehingga kita tidak memerlukan selain Allah, karena Allahlah pemilik segala-galanya dan penentu segala-galanya yang Mahasempurna. Mahasemua kesempurnaan ada pada-Nya. Itulah, jika kita sudah mengenal Allah SWT, maka tidak ada lagi sandaran di hati ini karena semuanya total secara sempurna ada dalam kekuasaan Allah dan tidak berbagi.
Kalau pun ada manusia yang memberi manfaat, pasti Allah yang menggerakkan. Kalau ada manusia yang menolong kita, pastti Allah yang menggerakkan karena manusia yang menolong kita adalah ciptaan Allah, milik Allah, dan dalam kekuasaan Allah sepenuhnya.
Saudaraku, mudah-mudahan dengan keyakinan Allahusshamad, sesudah ini kita betul-betul tidak lagi ada sandaran selain Allah, karena selain Allah itu hanyalah makhluk. Semua makhluk itu ciptaan Allah, digenggam Allah, diurus Allah, tidak bisa memberikan manfaat atau mudarat tanpa ijin Allah. Kalau pun kita harus bicara dengan makhluk, tetapi hati kita tetap bersandar ke Allah.
Contohnya ketika berjualan. Kita berbicara dengan makhluk, negosiasi, tawar-menawar, tapi hati harus yakin kalau yang mengatur rejeki adalah Allah. Saya berbicara dengan orang adalah amal saleh, tidak perlu pakai bohong, puji-pujin yang berlebihan, apalagi sumpah palsu. Jujur-jujur saja. Mengapa? Karena yang menentukan takdirnya adalah Allah.
Saudaraku, Ramadan yang insya Allah akan kita jelang adalah bulan mujahadah untuk tidak bersandar pada selain Allah. Mengapa? Karena setiap kali kita bersandar kepada selain Allah, Allah pasti tahu dan Allah akan menurunkan kegelisahan di hati kita. Apa pun bentuknya, mulai sekarang kita yakin bahwa “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman [55]: 29).
Mulai sekarang, berlatihlah untuk tidak berharap kepada makhluk untuk urusan pribadi. Kalau berharap makhluk jadi saleh, makhluk jadi tobat, mahluk jadi dekat dengan Allah, dan berharap makhluk jadi mulia, itu harus.
Perlukah berjuang supaya istri mencintai suami? Wajar ingin dicintai dan sangat manusiawi. Tetapi, tidak wajar kalau membat istri menuhankan kita. Pendidikan yang utama seorang suami bukan mendidik istri mencintai suami, tetapi mendidik istri mencintai Allah. Istri tidak akan bahagia karena mencintai suami, tetapi istri akan bahagia karena mencintai Allah. Itulah tugas suami.
Saudaraku, jangan sok bisa menyelesaikan masalah sendiri. Kita tidak dirancang untuk menyelesaikan masalah sendiri, tetapi kita dirancang untuk menjadikan masalah sebagai pendekat kepada Allah. Latihlah seperti ini dalam segala episode. Allah tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana kita tidak berlindung kepaa Allah yang menguasai setiap kejadian?
Jangan pernah mau lepas dari Allah dalam segala hal dan dalam segala urusan. Jadi, masalah kita adalah tidak nyambung ke Allah. Cirinya adalah gelisah. Mulai sekarang, jangan lari ke siapa-siapa dulu, jangan mudah curhat ke orang sebelum curhat ke Allah. Nanti Allah yang menggerakkan siapa yang bisa jadi jalan solusi. (KH. Abdullah Gymnastiar)