Al-Halim, Allah Maha Penyantun
Saudaraku, asma Allah yang kita bahas kali ini adalah Al-Halim, artinya Allah SWT yang Maha Penyantun. Dalam Surah Al-Baqarah [2] ayat 235, Allah berfirman, “…Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Dalam Surah Al-Ahzab [3] ayat 51, Allah berfirman, “…Dan Allah mengetahui apa yang tersimpan di dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Artinya Al-Halim, Allah tidak menyegerakan balasan-Nya. Walaupun Allah tahu persis kita berlumur dosa, melupakan Allah, berbuat maksiat, bahkan ada yang mengingkari Allah, tetap saja kita dihidupkan, diberi makan, minum, nafas, pakaian, rumah, diberi ilmu, pangkat, jabatan, kedudukan, diberikan pendamping, dan diberikan aneka nikmat.
Allah tahu persis hamba-Nya ini ada yang tidak beriman kepada-Nya, ada yang musyrik, dan bahkan ada yang memusuhi Allah. Tapi, Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bisa tobat, dapat hidayah, dan diurus. Karena ada sifat Ar-Rahman-Nya dan Al-Halim-Nya.
Kita punya dosa? Sedikit atau banyak? Banyak atau banyak sekali? Banyak sekali atau luar biasa banyaknya? Masih makan? Minum? Berpakaian? Nafas? Jantung berdetak? Darah mengalir? Tidur berteduh? “Maka nikmat kamu manakah yang engkau dustakan?”
Kita sering mengatakan, “Wah kamu bintang kelas karena gigih belajarnya.” Nah, ini salah. Kita bisa jadi bintang kelas karena Allah yang memberi kecerdasan. “Alhamdulillah, sembuh setelah gigih berobat.” Padahal yang menyembuhkan Allah. “Karena kamu rajin maka kamu pintar.” Tetapi Allahnya tidak disebut. Padahal dia bisa rajin juga atas izin Allah. Makanya, sering kita mendustakan karunia Allah. Tapi, Allah tetap saja memberi.
Kalau Allah tidak Maha Penyantun, bagaimana kalau tiap dosa mengeluarkan bau? Bau apa kita? Sudah tidak terbilang baunya. Bagaimana kalau satu dosa mengeluarkan satu belatung? Mata kita seperti apa? Sarang belatung. Telinga, sarang belatung. Otak, belatung semua.
Apa yang ditutupi Allah, jangan dibuka. Tinggal tobat saja. Kalau dibuka, tidak ada yang menghargai kita. Apa sih yang paling penting? Yang penting itu, kita sadar bahwa kita ditutupi Allah, sehingga kita tidak menikmati pujian orang dan kekaguman orang. Karena yang bahaya itu, mengakui yang tidak ada pada diri kita. Harusnya kita kalau dipuji atau dihormati, minimal bilang tidak! Ya Allah. Jangan sampai kita tertipu oleh harta, gelar, pangkat, jabatan.
Nah, ingat kita dihargai orang dan dihormati orang karena Allah Maha Penyantun, kita masih menutupi. Itu awalnya. Yang kedua, dengan ditutup ini kita harus tahu bahwa setiap dosa itu mengancam kita. Kita terancam bukan oleh siapa-siapa. Kita terancam oleh dosa sendiri.
Dalam Surah An-Nahl [16] ayat 61, dijelaskan bagaimana Allah menghukum kita. “Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak ada yang tinggalkan di bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata. Tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang telah ditentukan. Maka bila telah tiba waktu yang telah ditentukan bagi mereka, niscaya mereka tidak bisa memundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya.”
Kita tidak bisa menjangkau apa yang Allah lakukan ke kita. Tapi, Al-Halim menjadi inspirasi untuk kita tiru dengan maksimal. Halimnya kita, kesabaran kita , dan penyantun kita, kalau ada orang lain bersalah kepada kita, di antaranya:
- Harus bersyukur bukan kita yang berbuat salah kepadanya. Kalau ada orang yang menipu, kita harus bersyukur bukan kita yang jadi penipu. Kalau ada orang yang mengghibah ke kita. Kita harus syukur, bukan kita yang mengghibahinya. Kalau ada orang yang berbohong, kita harus syukur bukan kita yang jadi pembohongnya.
- Kalau ada orang berbuat kurang baik kepada kita, itu jadi pelajaran dari Allah supaya kita tidak melakukan hal serupa. Pertama kita syukur, bukan kita yang menjadi penjahatnya. Kedua, kita dapat ilmu lewat beliau.
- Orang yang menzalimi itu sebetulnya menjadi ladang amal bagi kita. Kita bisa memaafkan, kita yang untung. Kita yang mendoakan, kita yang untung. Kita mendoakan kebaikan untuk orang, malaikat doakan kebaikan untuk kita. Belum lagi omongan dan perilaku buruknya, bisa mengugurkan dosa kita. Sakit dizalimi orang bisa merontok dosa. Karena ada dosa yang tidak rontok kecuali dengan disakitin orang. Mengapa? Karena istighfar kita kurang kuat untuk menggugurkan dosa kita, maka dizalimi itu bagian dari penggugur dosa.
Ada juga yang disakiti itu untuk mengangkat derajat. Karena ibadah kita kurang mengangkat derajat kita, tapi karena Allah menginginkan kita naik derajatnya. Jadi yang menyakiti itu, bisa menggugurkan dosa dan bisa mengangkat derajat kita. Lalu, di mana ruginya? Yang rugi itu kalau kita yang zalim. Dan dengan seperti itu, kita jadi lebih pemaaf. Ingat, Rasulullah itu pemaaf. Semoga kita menjadi pemaaf dan berbuat baik kepada orang-orang yang tidak berbuat baik kepada kita. (KH. Abdullah Gymnastiar)