Ajaklah, Tak Perlu Marah
Manusia adalah makhluk sosial. Dengannya ia mendapatkan penghidupan dan membangun masyarakat. Tetapi di sisi lain ia pun makhluk berakal dan berperasaan. Hasil interaksinya dengan lingkungan tak jarang mempengaruhi kepribadiannya. Seperti bagaimana perilakunya, pembawaan emosi, dan mengolah perasaan. Oleh karenanya manusia sering disifati dalam al-Quran sebagai makhluk yang mudah kecewa, gampang marah, dan lalai dalam bersyukur,
Menahan Amarah
Khusus untuk marah, seringkali menjadi bahasan dan penekanan dalam setiap kajian KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di lingkungan Daarut Tauhiid (DT). Sebab marah bukan untuk urusan agama, pada dasarnya tidak menambah manfaat apa pun bagi pelakunya. Apalagi bagi seorang dai yang mengajak manusia pada jalan Allah SWT. Kesabaran yang luas dan kemampuan menahan amarah menjadi hal mutlak yang harus dimiliki.
Bukan hanya sebagai teladan, tapi sifat lemah lembut dalam menghadapi segala bentuk objek dakwah akan membuat nyaman manusia untuk menerima ajaran agama. Bayangkan jika seorang dai bersikap kasar dan mudah marah. Tidak ada yang nyaman berada di sampingnya. Mampu menahan amarah disebut sebagai salah satu kriteria hamba Allah yang bertakwa.
Allah SWT berfirman:
۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ ۙ
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ۚ
Artinya: “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-134).
Kisah Imam ‘Ali Zaynal ‘Abidin
Ialah Abu Hamid Imam al-Ghazali pada kitabnya Al-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk yang berkisah tentang betapa Imam ‘Ali Zaynal ‘Abidin telah mewarisi budi pekerti dari kakek buyutnya. Syahdan, suatu hari beliau pergi ke masjid dan ditemui oleh seorang laki-laki. Orang tersebut mendekat dan bertanya dengan nada merendahkan, “Apakah kamu yang digelari Zaynal ‘Abidin (Hiasan Para Ahli Ibadah)? Ketahuilah justru kamu Syaynul ‘Abidin (Aib Para Ahli Ibadah).” Pria itu seakan kalap, melanjutkan dengan segala makian hingga puas.
Manusia yang menyaksikan pun heran, hampir pria itu terbunuh oleh amuk massa. Namun Imam ‘Ali menahan mereka seraya berkata tenang, “Wahai tuan, aku memiliki keburukan lebih banyak dari yang tuan katakan. Apa yang tuan tidak ketahui (tentang keburukanku) lebih banyak dari yang tuan ketahui. Jika tuan membutuhkannya, aku akan menceritakan (semua)nya pada tuan.”
Pria itu menjadi sangat malu. Dia mengaku, “Wahai Imam, sungguh aku hanya terbawa suatu taruhan. Aku mengincar hadiah 1.000 dirham (Habib ‘Ali al-Jufri bahkan menyebut 1.000 dinar) bagi siapa saja yang bisa membuat engkau marah.”
Respon Orang Mulia
Namun begitulah, Imam ‘Ali ibn Husayn memang orang yang tak bisa marah, kecuali untuk urusan agama. “Jika kau menyebutkannya lebih awal, kau tak perlu bersusah payah memakiku untuk mendapatkannya,” jawab Imam ‘Ali Zaynal ‘Abidin sembari memberikan uang sebanyak hadiah taruhan.
Maka itulah yang membedakan para hamba Allah yang dekat kepada-Nya dengan yang tidak. Yakni salah satunya berupa respon terhadap makian dan tantangan dakwah. Orang mulia akan menganggap hinaan paling keras sekali pun sebagai nasihat. Maka tugas dai hanyalah menyampaikan. Ada pun respon manusia terhadap ajakannya dan hidayah Allah, bukanlah ranah seorang dai. Melapangkan kesabaran dan merespon keburukan dengan kebaikan adalah jalan terbaik menghadapi rintangan dakwah. (Gian)
ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi