Adab terhadap Ahli Ilmu

Adab dalam konsep pendidikan Islam bukan semata-mata masalah etika. Tetapi ia merupakan konsep yang memang akan selalu melekat pada pendidikan Islam itu sendiri. Di antara adab bagi seorang penuntut ilmu ialah memuliakan ilmu dan ahli ilmu.

Penting diketahui bagi seorang penuntut ilmu bahwa ilmu tidak akan diraih manfaatnya bila adab terhadap ilmu dan para ahlinya tidak ditunaikan. Seseorang tidak akan sampai pada suatu tujuan kecuali dengan penghormatan; dan tidak akan terjatuh kecuali dengan meninggalkan penghormatan. Sebab penghormatan itu lebih utama daripada ketaatan. Di antara wujud memuliakan ilmu adalah dengan menghormati guru. Sayyidina Ali pernah berkata, “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajariku satu huruf; jika mau ia boleh menjualku dan jika mau ia dapat pula membebaskanku.”

Sesungguhnya orang yang mengajarimu satu huruf yang dibutuhkan dalam urusan agama sejatinya ia laksanan bapakmu dalam agama. Siapa yang menginginkan anaknya menjadi seorang ‘alim, hendaknya ia memperhatikan para fuqaha` yang terasing, menghormati mereka, dan mengagungkan mereka. Jika nanti anaknya tidak menjadi seorang ‘alim, maka cucunyalah yang akan menjadi seorang ‘alim. Begitulah yang diungkapkan Imam Sadiduddin asy-Syirazi.

Salah satu cara menghormati seorang ‘alim adalah tidak berjalan di depannya dan tidak menduduki tempat duduknya. Selain itu tidak diperkenankan memulai pembicaraan di hadapannya kecuali jika sudah diizinkan serta tidak boleh banyak berbicara di hadapannya. Jika hendak bertanya tentang sesuatu janganlah ditanyakan pada saat guru terlihat tidak antusias. Lalu jangan pula mengetuk pintu sehingga memaksa guru keluar karena lebih baik sabar menunggu kehadirannya.

Seorang penuntut ilmu harus mencari rida gurunya dan menjauhi kemurkaannya. Seorang penuntut ilmu pun tidak boleh meragukan perintah gurunya selama itu bukanlah perintah maksiat terhadap Allah SWT. Selain itu seorang penuntut ilmu juga harus menghormati anak-anak dan keluarga gurunya.

Syaikhul Islam Burhanuddin, pengarang kitab al-Hidayah pernah berkata, “Ada salah seorang imam senior di Bukhara ikut duduk dalam satu majelis, dan kadang-kadang ia berdiri di tengah-tengah pelajaran. Maka orang-orang pun menanyakan kebiasaannya tersebut. Ia menjawab bahwa sesungguhnya putra gurunya sering bermain bersama anak-anak di jalan. Dan kadang-kadang ia datang ke pintu masjid (tempat majelis). Maka apabila ia melihat anak gurunya tersebut, dia akan berdiri sebagai penghormatan untuk gurunya.”

Imam Fakhruddin al-Arsabandiy, Ketua para imam di Maru—yang mana sultan pun sangat menghormatinya dengan penghormatan yang luhur—ia pernah berkata, “Sesungguhnya aku mendapatkan kedudukan ini dengan melayani guru. Dulu aku melayani guruku yakni Imam Abu Zaid ad-Dabusi dengan seperti menyiapkan makanannya dan tidak memakan darinya sedikit pun.”

Maka jika seorang guru tersakiti oleh muridnya, akan terdapat penghalang antara sang murid dengan keberkahan ilmu. Dan ia tak mampu mengambil manfaat dari ilmu kecuali hanya sedikit. Tercatat bahwa Khalifah Harun ar-Rasyid pernah mengirim putranya belajar kepada Imam al-Ashma’i supaya anaknya menjadi ‘alim dan beradab. Pada suatu hari khalifah melihat al-Ashma’i berwudu dan mencuci kakinya. Sementara putranya yang bertugas menuangkan air ke kaki gurunya tersebut. Melihat hal itu khalifah langsung menegur dan berkata, “Wahai Imam, aku mengirim putraku supaya Anda mengajarkannya ilmu dan adab. Kenapa Anda tidak menyuruhnya menuangkan air dengan salah satu tangannya dan mencuci kaki Anda dengan tangan yang lainnya.” Begitulah adab para penuntut ilmu di masa keemasan Islam.* (Gian)

*Disarikan dari Ta’limul Muta’allim fii Thariq at-Ta’allum

ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi