Ada Sabar di Sepanjang Jalan
Nasihat seorang ustaz di radio pagi itu sangat jelas. “Setergesa-gesa apapun hendaknya jangan sampai menyusul orang tua yang sedang berjalan di depan kita.”
Ingatanku melayang ke masa kecil. Kami tujuh bersaudara memang diajari sopan santun oleh kedua orang tua. Tak hanya di rumah, di luar pun begitu. Kadang dengan contoh, kadang dengan nasihat. Hanya kami lebih mengingat yang dicontohkan orangtua.
Kami sekeluarga sering bepergian. Sebagai keluarga besar, terkadang kami diminta untuk berjalan bersama-sama. Terkadang pula kami anak-anaknya diberi tanggung jawab lebih dahulu berjalan. Jika tak terelakkan akan menyusul seseorang, sebagai orang Sunda maka orangtua kami selalu mengatakan, “Kapayunan.”
Dulu kami bangga bisa mencontoh orangtua dengan mengatakan seperti itu. Orang yang disusul pastilah menjawab, “Mangga” sambil memberi kami senyuman dengan anggukan kepala yang menenangkan.
Lamunanku buyar tatkala terdengar lagi kata-kata ustaz, “Menyusul seseorang yang sedang berjalan di depan kita terlebih orang tua yang sudah sepuh dan sudah lambat berjalan.”
Kemudian pikiran saya ragu menyimpulkan apakah ini kontradiktif? Saya belum mendapatkan jawabannya sampai adanya beberapa peristiwa ke depan yang membuat saya belajar.
Kebiasaan saya kalau berjalan inginnya cepat. Terkadang bukan karena tergesa-gesa, tapi apa guna lambat-lambat berjalan? Siang itu dalam ketergesaan diburu waktu langkah cepat saya tak bisa dihindarkan. Baru setengah perjalanan, mata saya menangkap seorang ibu sedang berjalan kira-kira sepuluh langkah tepat di depan saya.
Susul? Ibu itu tidak mengenali saya! Jangan! Usianya sudah lanjut! Susul? Ibu itu kan sehat, harusnya bisa berjalan lebih cepat! Susul? Ya! Dengan kecepatan sewajarnya perlahan ibu itu saya susul. Perasaan bimbang saya abaikan. Di tempat tujuan tak sengaja mata saya menatap sosok ibu tadi. Beliau lebih dulu selesai dengan keperluannya. Lalu saya? Saya masih terjebak dalam antrian panjang kassa ekspress.
Kali lain, peristiwa itu tak juga menghentikan laju langkah saya. Peristiwa yang harusnya sudah membuat saya belajar. Tapi betapa sulitnya mengerem, membuntuti, menyejajari sampai akhirnya saya memutuskan untuk kembali menyusul seseorang Ya, saya telah menyusul langkah seorang bapak yang sekilas tertangkap oleh sudut mata saya. Toh tujuan saya kali ini lebih baik. Dan nyatanya kelegaan berhasil menyusul bapak itu memang tidak menimbulkan kebimbangan.
Selanjutnya saya perlu naik jembatan penyeberangan. Pikiran saya merasa yakin mana ada orang yang bisa menyeberang jalan kalau lalu lintas sepadat ini. Satu anak tangga demi anak tangga yang harus saya tapaki membuat kepala saya selalu tertunduk. Akhirnya sedetik setelah saya mengangkat wajah, mata saya tak bisa mempercayai apa yang saya lihat. Betapa tidak, karena tepat di depan saya sekarang tampak punggung seseorang.
Punggung siapa gerangan yang sekarang tepat ada di depan saya? Subhanallah! Mata saya terbuka sangat lebar dan dapat melihat dengan jelas. Punggung itu ternyata milik seseorang yang sedang terseok-seok berjalan. Punggung seseorang yang berbadan lumpuh sebelah. Punggung seseorang yang gerakan berjalannya saya kenali. Betapa punggung itu lebih kokoh, lebih kuat membawa pemiliknya. Betapa punggung itu lebih beruntung. Betapa punggung itu lebih sabar membawa pemiliknya. Punggung seorang bapak yang kususul barusan. (daaruttauhiid)