FIQIH PUASA (Bagian 1)
Penulis, Abdul Wahab, Lc.
Pengertian Puasa
Puasa dalam arti bahasa adalah menahan dari sesuatu, dan bahasa ini berlaku untuk semua praktek penahanan atas makan atau pembicaraan, karena itu, kata (صَامَ): digunakan untuk orang yang menahan dirinya dari berbicara, seperti kata yang telah dipakai oleh al-Qur’an saat menceritakan kisah Maryam As:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا﴾ [مريم: 26]
“sesungguhnya aku bernadzar terhadap Allah yang maha Pengasih, dengan menahan diri dari berbicara” (Maryam: 26).
Puasa dalam pengertian Syara’ (hukum agama): adalah menahan dari berbagai perkara yang membatalkan puasa, mulai dari terbitnya Fajar, sampai terbenamnya Matahari, dilakukan oleh orang yang telah wajib menjalankannya, dengan menyertakan niat berpuasa.
SEJARAH PENSYARI’ATAN.
Perintah pelaksanaan puasa Ramadlan ini, turun pertama kali pada bulan Sya’ban tahun 2 Hijriah. Praktek puasa sendiri sudah dikenal pada masa sebelum Islam, dan telah dipraktekkan oleh para ahlul kitab (pemeluk agama Yahudi dan Nashrani), sedangkan Rasulullah SAW sendiri pada waktu berada diMadinah, sebelum turunnya perintah puasa Ramadlan, beliau senantiasa berpuasa 3 hari setiap bulan dan berpuasa ‘Asyura’ (puasa pada tanggal 10 bulan Muharram).
Jadi, sejarah pensyari’atan puasa menunjukkan, bahwa perintah puasa pada hakikatnya juga berlaku dalam umat terdahulu dan agama-agama lain, namun yang membedakannya adalah bahwa Islam memiliki perintah khusus, yaitu berpuasa pada bulan Ramadlan.
DALIL TENDENSI PENSYARI’ATAN PUASA
Dalil yang dijadikan sebagai tendensi pensyari’atan puasa Ramadlan, adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah: 183:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
[البقرة: 183].
“Wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelummu, agar kamu bertakwa”.
Ayat diatas menegaskan tentang perintah berpuasa bagi umat Islam, namun tidak menjelaskan kapan pelaksanaan puasa tersebut. Karena itu, pada ayat setelahnya, yaitu al-Baqarah: 185, Allah menegaskan bahwa waktu pelaksanaan kewajiban ini, adalah pada bulan Ramadlan.
Allah SWT berfirman:
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ [البقرة: 185].
“Bulan Ramadlan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk-petunjuk itu, dan pembeda antara yang benar dan yang batil, karena itu, barangsiapa diantara kamu yang ada dibulan itu, maka berpuasalah”.
Pensyari’atan ini juga bertendensi kepada hadis Nabi Muhammad SAW, sebagaimana berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ)).()
“Dari Ibn ‘Umar RA, dia berkata: Rasulullah SAW berkata: “Islam dibangun atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, berhaji, dan puasa Ramadlan”.
Selain kedua tendensi diatas, umat Islam juga sepakat atas kewajiban puasa Ramadlan dan sudah dianggap
HUKUM ORANG YANG TIDAK MELAKSANAKAN PUASA RAMADLAN
Karena hukum puasa Ramadlan adalah wajib, maka bagi muslim yang mengingkari kewajiban tersebut dianggap kafir, dan diberlakukan padanya proses menyikapi orang murtad (orang yang keluar dari Islam), yaitu disuruh bertaubat, dengan cara diminta mengakui kewajiban puasa Ramadlan, dan menarik kembali keinkarannya.
Selanjutnya jika orang tersebut sudah bersedia mengakui kewajiban puasa Ramadlan kembali, maka taubatnya diterima, sedangkan jika tidak bersedia bertaubat, maka dia dibunuh dengan status kafir, kecuali jika dia masih baru masuk Islam, dan belum mempelajari berbagai kewajiban dan hukum-hukum Islam, atau dia berada didaerah yang jauh dari ulama’, maka orang-orang dengan kasus semacam ini, harus diberi pendidikan terlebih dahulu, supaya mengerti sebelum diambil tindakan atas mereka.
Adapun muslim yang telah mengakui kewajiban puasa Ramadlan, akan tetapi dia tidak bersedia melaksanakannya, karena membangkang, dan tidak ada alasan yang legal atas dirinya untuk meninggalkan puasa, sebagaimana karena sakit dan safar (bepergian), maka orang tersebut dianggap telah melakukan kemaksiatan dan fasiq. Orang semacam ini harus dimasukkan kedalam penjara dan dilarang makan serta minum diwaktu siang, sekiranya bentuk praktek puasa bisa diwujudkan, dan sekiranya juga orang tersebut akan bertaubat dan menarik kembali dari kesalahannya tersebut.()
() Lihat: Mughni al-Muchtaj: 1/420; al-Majmu’: 6/252; al-Chawy: 3/240.
HIKMAH DAN FAEDAH PUASA
Allah mewajibkan puasa Ramdlan kepada umat muslim dan menjadikannya sebagai ibadah, selain sebagai media ‘ubudiah (menghamba) kepada Allah, juga karena beberapa hikmah dan faedah yang positif.
Secara global, faedah tersebut, ada yang kembali kepada permasalahan akidah, ibadah, pendidikan dan pensucian jiwa, sosial kemasyarakatan, dan kepada kesehatan.
Hikmah yang kembali kepada akidah:
adalah menambahkan keimanan pada pelakunya, karena disaat muslim berpuasa tentu dia akan merasa lapar dan dahaga, dan nafsunya mengajak dirinya untuk makan dan minum, sebagai pelepas lapar dan dahaganya, namun karena saat itu dia dalam kondisi berpuasa, maka dia tidak melakukan ajakan nafsunya tersebut, karena dia sedang dalam praktek ibadah kepada Allah SWT, jadi dia harus taat dalam kondisi apapun. selain itu dia juga merasa diawasi olah Allah SWT, sehingga dia terus merasakan keagungan Allah SWT Dzat yang mewajibkannya berpuasa. Kondisi semacam ini akan menambahkan keimanan, pada hati hamba yang berpuasa tersebut menjauhi larangan Allah SWT, kedua tujuan ini akan bisa diraih dengan lebih banyak oleh orang yang berpuasa, karena bulan tersebut memang diprioritaskan untuk hal itu.
Hikmah yang kembali kepada pendidikan dan pelatihan jiwa:
kondisi kenyang yang terus menerus atau bahkan kekenyangan lambat laun akan menjadikan manusia menjadi keras hatinya, dan mendorongnya untuk melakukan berbagai perbuatan buruk, karena secara pelan namun pasti, dirinya bisa lupa kepada Dzat yang telah mencukupinya, bahkan bisa jadi tidak membutuhkannya. Kondisi ini tentunya tidak sesuai dengan pribadi muslim yang memiliki perasaan lembut dan senantiasa butuh kepada Allah
SWT, dan kondisi ini bisa dicapai dengan cara berpuasa, sebab orang yang berpuasa akan tertahan dari melakukan makan dan minum dan berbagai perbuatan yang membatalkan puasa, yang tentunya akan mengingatkannya, bahwa dia adalah orang yang butuh akan makanan dan minuman pada saat dia harus lapar dan haus. Selain itu, puasa juga melatih pelakunya untuk makan dan minum pada waktu yang teratur dan telah ditentukan, sehingga menjadikannya sebagai pribadi yang disiplin dan teratur
Hikmah yang kembali kepada sosial kemasyarakatan:
salah satu prinsip terpenting dalam jiwa seorang muslim sebagai modal membangun masyarakat Islami, adalah tertananmnya nilai-nilai kasih-sayang diantara mereka, kasih- sayang dan kepedulian orang yang kaya terhadap orang yang miskin, sebuah kasih sayang yang tulus yang lahir dari hati, karena mampu merasakan bagaimana susahnya hidup serba kekurangan. Kondisi ini bisa diciptakan pada saat seorang muslim berpuasa, karena mereka akan merasakan bagaimana rasanya menahan lapar sepanjang siang, yang tentunya kondisi ini sering dialami oleh orang-orang miskin, sehingga mampu menanamkan dalam jiwa mereka sikap peduli dan sikap sosial terhadap sesama muslim dan sesama hamba Allah SWT.
Hikmah yang kembali kepada kesehatan:
puasa sendiri merupakan media kesehatan bagi pelakunya, baik yang kemabali kepada tubuh maupun kepada beberapa sarana pencernaan, sebagaimana telah dibuktikan dan diakui oleh para dokter dizaman dulu maupun sekarang.