Bagaimana Hukum Adopsi Anak Dalam Islam?
DAARUTTAUHIID.ORG | Sebagian pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. Dalam Islam disebut juga dengan tabbani. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melakukan hal sama yakni mengangkat Zaid bin Haritshah sebagai anaknya.
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya.
Secara hukum anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, tapi belum dikaruniai anak.
Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mam pu agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Fatwa itu menjadi salah satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984.
Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Namun, MUI mengingatkan, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya.
Dalam surat Al-Ahzab ayat 4 menjelaskan bahwa:
“Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sen diri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan, Allah mengatakan yang se benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.”
Dalam ayat lain Allah juga menegaskan yang artinya: “Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).” (QS.Al-Ahzab:5)
Dan Abu Zar RadiyaAllahu ‘anhu sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak seorang pun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam fatwanya MUI memandang, mengangkat anak hendaknya tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya. Misalnya, dengan menyematkan nama orang tua angkat di bela kang nama si anak.
Dalam hal ini Rasulullah telah mencontohkan. Beliau tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya, tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad. (Arga)