Fatwa Terbaru MUI: Merusak Alam Hukumnya Haram
DAARUTTAUHIID.ORG | JAKARTA – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah menerbitkan Fatwa tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global. Dalam fatwa ini, MUI menetapkan, segala tindakan yang menyebabkan kerusakan alam hukumnya haram.
“Segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan alam dan berdampak pada krisis iklim hukumnya haram,” ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat KH Junaidi dikutip dari Fatwa MUI Pusat, Jumat (23/2/2024).
Selain itu, Komisi Fatwa MUI menetapkan deforestasi yang tidak terkendali dan pembakaran hutan yang merusak ekosistem alam dan menyebabkan pelepasan besar-besaran gas rumah kaca serta mengurangi kemampuan bumi untuk menyerap dan menyimpan karbon hukumnya haram.
“Semua pihak wajib turut berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang lebih baik, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok, serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan,” kata Kiai Junaidi.
Fatwa ini diterbitkan MUI di Jakarta pada 10 November 2023 lalu. Fatwa dikeluarkan MUI karena dewasa ini umat manusia tengah menghadapi bencana perubahan iklim global yang pengendaliannya memerlukan kolaborasi dan partisipasi tiap individu masyarakat bumi.
“Manusia diciptakan oleh Allah SWT menjadi khalifah di bumi mengemban amanah dan bertanggung jawab untuk memelihara dan memakmurkan bumi dan seisinya sebagai refleksi Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ujar Kiai Junaidi.
Dia menuturkan, krisis iklim berakar pada keterkaitan faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial. Karena itu, nilai, etika dan penegakan hukum memegang peran kunci untuk mengubah sistem ekonomi, sosial dan politik yang tidak berkelanjutan.
“Oleh karenanya manusia wajib melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim agar tidak menimbulkan kerusakan (mafsadah), bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global untuk dijadikan pedoman,” kata Kiai Junaidi.
Fatwa MUI ini ditetapkan berdasarkan dalil Alquran, hadis, dan kaidah fikih. Di antaranya, MUI mengutip ayat Alquran surat al-Baqarah ayat 60, di mana Allah SWT berfirman:
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا مِنْ رِّزْقِ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
Artinya: “… Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan” (al-Baqarah [2]:60).
Komisi Fatwa MUI juga menukil hadis Nabi sebagai berikut:
أَنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ظَلَمَ مِنْ الْأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Artinya: Dari Sa’id bin Zaid berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang melakukan suatu kezaliman pada bumi meski hanya sejengkal, maka sesungguhnya ia akan dikalungkan dengan tujuh lapis bumi'” (HR Ahmad).
Dalam fatwa ini, MUI Pusat juga menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, legislatif, lembaga pendidikan, pengusaha, para tokoh agama, dan kepada masyarakat luas. Kepada pemerintah pusat, MUI mendorong agar melakukan segala upaya untuk mencapai target penanggulangan perubahan iklim yang telah disepakati secara nasional dan internasional, serta merumuskan peta jalan ekonomi hijau yang berkeadilan.
“Bersama pengusaha harus melakukan langkah-langkah yang dapat mengurangi dan/atau menghentikan laju perubahan Iklim,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda.
Selain itu, MUI merekomendasikan kepada pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas ketentuan emisi dan gas buang lainnya, baik dalam segi peraturan dan kegiatan, serta harus melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.
“Dalam memberikan izin terhadap hasil gas buang dalam kegiatan produksi, harus mencegah dan memperhatikan dampak kepada masyarakat sekitar terdampak polusi dan standar pembuangan gas buang,” kata Miftahul Huda.
MUI juga merekomendasikan kepada pemerintah pusat untuk melakukan percepatan dalam pembentukan regulasi berkaitan secara langsung dengan perubahan iklim dan wajib mempertimbangkan faktor perubahan iklim dalam setiap produk hukum dan/atau kebijakan yang ditetapkan.
“Harus memperhatikan dampak lingkungan dan Iklim dalam menerima investasi,” ujar Miftahul Huda.
Selain itu, pemerintah didorong untuk melakukan pembinaan secara rutin kepada aparatur negara yang memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan lingkungan, serta harus mencanangkan program strategis nasional transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan.
“Mengalokasikan pendanaan yang cukup untuk implementasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Miftahul Huda.
Sementara itu, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI Dr Hayu Susilo Prabowo mengatakan penyebab perubahan iklim dan pemanasan global terdiri dari berbagai faktor. Hal tersebut membuat cuaca ekstrem dengan terjadinya musim kemarau berkepanjangan, curah hujan serta kenaikan permukaan air laut yang menyebabkan kenaikan bencana hidrometeorologi serta kegagalan pertanian serta bidang perikanan.
Dia mengatakan, untuk mengendalikan perubahan iklim tersebut diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak baik dari pemerintah dan masyarakat secara umum. Dari pandangan itu muncul berbagai pertanyaan dari masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup terkait peningkatan kesadaran masyarakat dan dunia usaha tentang pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan penggunaan energi fosil, pengelolaan hutan tropis dan pengurangan limbah, penggunaan energi terbarukan, serta mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan energi transisi yang berkeadilan.
Menurut Hayu, demi memberikan kepastian jawaban dari perspektif syariah, masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup menanyakan kepada MUI. Dalam proses penyusunan fatwa ini, komisi fatwa bersama lembaga pengusul melakukan kunjungan lapangan untuk pengumpulan bukti empiris mengenai penyebab dan dampak perubahan iklim di lapangan.
Bersama dengan Manka dan Borneo Nature Foundation, Komisi fatwa mengunjungi gambut bekas terbakar di Kalimantan Tengah, dan bersama Manka dan Perkumpulan Elang berkunjung ke Riau untuk berdiskusi dengan para pihak dan masyarakat mengenai tata kelola lahan dan hutan.
Selain itu dalam proses pembahasan fatwa, sudah dilakukan focus group discussion dengan berbagai pemangku kepentingan baik dari pemerintah, akademisi, dunia usaha dan masyarakat yang secara aktif memberikan masukan serta rujukan ilmiah.
Ketentuan hukum dari fatwa ini termasuk mengharamkan segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan alam, deforestasi dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim. Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan.
Sumber: Republika.id
Baca juga: Lestarikan Lingkungan Kawasan Wakaf PDTI Eco 3, DT Peduli Kuningan Lakukan Penghijauan