Aa Gym: Belajar Menempatkan Diri, Kapan Berbicara dan Kapan Mendengarkan
DAARUTTAUHIID.ORG — Alloh Ta’ala menciptakan dua telinga dan satu mulut. Artinya, kita harus lebih banyak mendengar dari pada banyak bicara. Mendengar harus dua kali lebih banyak, agar ucapan kita jadi lebih bermakna.
As-Sami’ adalah salah satu asma Alloh yang berarti mendengar. As-Sami’ terambil dari kata sami’a yang artinya mendengar. Menangkap suara atau bunyi-bunyi dapat diartikan pula mengindahkan atau mengabulkan.
Jadi, Alloh Maha Mendengar segala suara walaupun semut hitam yang merangkak di batu hitam ditengah belantara yang kelam.
Logikanya jelas, bagaimana Alloh tidak mendengar sedangkan Ia adalah pencipta semut, yang dengan izin-Nya ia merangkak di kegelapan malam.
Jangan bicara kecuali benar dan bermanfaat, karena setiap patah kata akan didengar oleh Alloh dan harus kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Karena itu, kita harus selalu berpikir dan menimbang sebelum bicara.
Bertanyalah selalu, pantaskah saya bicara seperti ini? Benarkah perkataan ini kalau saya ucapkan? Karena ada perkataan yang benar tapi tidak tepat situasi dan kondisinya.
Islam mengistilahkan kebenaran dalam perkataan sebagai qaulan sadiida. Apa syaratnya?
Pertama, harus benar. Benar di sini mengandung arti bahwa perkataan yang kita ucapkan harus sesuai dengan realita yang terjadi, tidak menambah-nambah ataupun mengurangkan.
Abu Mas’ud radiyallohu ‘anhu berkata: bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
“Biasakanlah berkata benar, karena benar itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke surga. Hendaklah seseorang itu selalu berkata benar dan berusaha supaya tetap benar, sehingga dicatat di sisi Alloh sebagai orang as-siddiq (amat benar).” (HR. Bukhari Muslim)
Kedua, setiap kata itu ada tempat yang tepat dan setiap tempat itu ada kata yang tepat. Di sini tepat, tapi di tempat lain belum tentu tepat.
Dengan orang tua tepat, tapi dengan anak belum tentu tepat. Dengan guru tepat, tapi dengan murid belum tentu tepat.
Jadi dalam berbicara itu tidak cukup benar saja, tapi harus pandai pula membaca situasi dan objek yang kita ajak bicara.
Ketiga, kita harus bisa mengukur apakah kata-kata kita itu melukai atau tidak, karena sensitifitas tiap orang itu berbeda-beda.
Terakhir, pastikan perkataan itu bermanfaat. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam; barang siapa beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya; barang siapa beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari Muslim).
Hikmah kedua adalah kita harus belajar mendengarkan. Mendengar belum tentu mendengarkan. Mendengar hanya sekadar menyerap suara lewat telinga.
Sedang mendengarkan tidak sekadar menyerap suara, tapi juga menyimak dan mengolah apa-apa yang kita dengar.
Karena itu, dengan mendengarkan kita akan faham, dan dengan faham kita bisa berubah. Wallohu a’lam bishawab. (KH. Abdullah Gymnastiar)
Redaktur: Wahid Ikhwan