Kiat-Kiat Taubat
Ada hal yang lebih mahal daripada dunia ini dan seluruh isinya, yaitu hidayah Allah Ta’ala. Karena seseorang akan masih tetap beribadah kepada Allah, beramal baik kepada sesama manusia dan makhluk lainnya adalah karena masih diberikan hidayah oleh Allah Ta’ala. Bahkan sampai saat ini kita masih menjadi muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul, serta masih menjalankan amalan-amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul adalah karena Allah masih memberikan kita hidayah.
Tidak menutup kemungkinan seorang muslim yang taat pun suatu hari bisa saja Allah cabut hidayahnya, karena pada dasarnya hidayah itu seperti rezeki, harus senantiasa dicari dan dipertahankan. Dicari oleh orang yang belum mendapat hidayah, dan dipertahankan oleh orang yang sudah beriman kepada Allah agar senantiasa dalam keadaan beriman sampai akhir hayat. Lalu bagaimana cara atau langkah yang harus dijalani oleh seseorang yang hendak bertaubat agar mendapatkan hidayah dari Allah.
Menyegerakan Taubatnya
اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertaubat. Taubat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 17)
Dalam Firman Allah di atas disampaikan bahwasannya seseorang yang sudah memiliki keinginan untuk bertaubat diperintahkan agar menyegerakan taubatnya, bentuk penyegeraanya sendiri adalah dengan cara ia (orang yang bertaubat) mengakui kesalahan-kesalahannya kepada Allah dan berjanji untuk tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan seperti sebelumnya. Karena jangan sampai lupa bahwa manusia siapa pun itu akan selalu berhadapan dengan kematian yang tidak ada satu makhluk pun yang tahu kapan ia akan mati.Atas dasar itulah orang yang hendak bertaubat untuk menyegerakan taubatnya, agar kelak jika ia mati detik itu juga, ia sudah wafat dalam kondisi bertaubat kepada Allah. Karena Allah menyampaikan juga dalam Firmannya bahwa janganlah kita mati kecuali dalam kondisi beriman kepada Allah, karena jika kita mati dalam kondisi tidak beriman maka Allah telah menyiapkan azab atau balasan yang pedih kelak di akhirat.
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا
“Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih.” (QS. An-Nisa’: 18)
Shalat Taubat
selanjutnya adalah bagi seseorang yang hendak bertaubat, ia membuktikan taubatnya dengan melakukan shalat taubat dengan sebelumnya benar-benar mengakui kesalahannya, sebagaimana yang disampaikan dalam hadits Abu Bakr Ash Shiddiq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ
“Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (HR. Tirmidzi no. 406, Abu Daud no. 1521, Ibnu Majah no. 1395).