Ulama Pewaris Nabi
Syarat menjadi seorang muslim adalah dengan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, baik mengimani dalam hati, dengan ucapan dan tindakan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Melakukan segala bentuk ibadah tentunya harus sesuai dengan contoh yang Rasul lakukan, karena jika seseorang beribadah tidak sesuai dengan cara Rasul maka ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah karena telah melakukan perkara bid’ah.
Dahulu para sahabat sangat mudah untuk menyelesaikan perkara-perkara dalam kehidupan sebab Rasul masih ada bersama mereka saat itu. Karena Rasul merupakan sumber pengambilan hukum dan keputusan bagi umat Islam, sehingga pada masa itu umat Islam sangat mudah untuk menanyakan perkara-perkara kepada Nabi secara langsung.
Saat ini di masa Rasul telah wafat ribuan tahun lalu, kita tetap masih bisa mendapatkan sumber-sumber hukum dan pengetahuan Islam melalui kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama besar, kemudian kita juga bisa mendapatkan pengetahuan dari kajian-kajian yang diisi oleh ulama atau ustadz langsung, bahkan melalui teknologi seperti internet dan media lainnya yang terpercaya.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wassallam bersabda,
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albani).
Jika saat ini kita tidak mungkin untuk menanyakan perkara kehidupan ataupun ibadah kepada Nabi, tetapi kita masih bisa menanyakannya kepada para ulama, karena Nabi sendiri yang mengatakan bahwa ulama ada pewaris nabi yang Allah takdirkan memiliki pengetahuan lebih luas dari orang umum walaupun tidak juga setingkat dengan Nabi. Tetapi ulama patut menjadi rujukan untuk kita dalam menjalani kehidupan baik persoalan ibadah maupun persoalan kehidupan lainnya. Meski tidak semua ulama menguasai bidang atau pengetahuan, tetapi saat ini banyak ulama yang memiliki keahlian yang berbeda-beda, seperti ulama yang paham soal kesehatan, ulama yang paham soal hukum-hukum ibadah, ulama yang paham soal kenegaraan, dan lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wassallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673).
Jangan sampai kita menjadi golongan orang-orang yang bodoh karena mengambil rujukan suatu perkara dari bukan yang ahlinya, terlebih lagi jika yang menjadi rujukan tidak memiliki keimanan kepada Allah dan Rasul, selama masih ada ulama di sekitar kita. (Wahid)