Bertaubatlah Karena Allah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّبُوْنَ. رَوَاهُ التِّرْمـِذِيُّ
“Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR At Tirmidzi, no.2499).
Sudah menjadi fitrah manusia dalam hidup kadang berbuat baik kadang berbuat dosa, kecuali rasul dan nabi. Tetapi sebaik-baiknya manusia yang berdosa adalah dia yang bertaubat kepada Allah Ta’ala. Nabi Adam mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdoa memohon ampunan untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala.
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al Araf: 23).
Hal yang paling mendasar dalam bertaubat adalah kita harus meyakinkan diri kita terlebih dahulu bahwasannya hanya Allah satu-satunya yang menciptakan, mengendalikan semua yang ada dimuka bumi termasuk memelihara dan mengawasi kita sehingga Allahlah yang paling tahu apa yang kita perbuat baik yang tersembunyi dan juga yang terang-terangan, baik yang lahir dan juga yang batin.
Ketika seseorang hendak bertaubat ia juga harus mengakui kepada Allah atas kesalahan dan dosa yang telah ia perbuat. Tidak termasuk bertaubat orang yang merasa gembira atau senang dengan kesalahan dan dosa yang pernah ia perbuat. Misalnya, “Alhamdulillah saya ini sudah pernah mengalami maksiat yang banyak, sekarang tinggal saatnya saya bertaubat”, itu adalah contoh orang yang bergembira atas dosanya, dan orang yang bergembira atas dosanya berarti ia tidak bertaubat karena tidak termasuk rukun taubat.
Seharusnya orang yang ingin benar-benar bertaubat kepada Allah, ia merasa menyesal dengan perbuatan dosa dan mengakui atas apa yang pernah dia lakukan sebelumnya, bukan justru membanggakannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
النَّدَمُ تَوْبَةٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه
“Penyesalan adalah taubat.” (HR Ibnu Majah, no. 4252 dan Ahmad no. 3568).
Allah Ta’ala akan menerima taubat dari hamba-Nya ketika taubat yang dilakukannya adalah benar-benar karena Allah Ta’ala bukan atas dasar karena riya’ atau ingin dilihat baik oleh orang lain.
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An Nisaa: 146).
Dalam bertaubat juga tentunya harus ditanamkan dalam diri untuk tidak melakukan kembali dosa sebelumnya, dan menjauhi tempat-tempat atau hal-hal yang berkemungkinan membuat seseorang mendekati dosa atau ingin melakukan kembali perbuatan dosa.
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud : 112).